27 Oktober, 2008

Kajian Kritis Ilmu Hadits Bag II


C. Konsep Al-Jarhu wa Al-Ta'dil (Mencacat dan meng-adil-kan rawi)

1. Ta'rif

Lafadh Jarh menurut muhaditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilannya atau kehafalannya, men-jarh atau mentarjih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau kecacatannya sehingga tertolak apa yang diriwayatkannya. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat menjaga sifat-sifat atu akhlaknya dari menodai agama. Memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima.
2. Faedah Ilmu Jarh wat-Ta'dil

**Ialah untuk menetapakan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali.**

=>> Macam-macam keaiban rawi:

1.Bid'ah (melakukan tindakan tercela atau di luar syariat)
2.Mukhalafah (Melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)
3.Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)
4.Jahalatul Hal (tidak dikenali identitasnya)
5.Da'wa'l-inqitha' (diduga keras sanadnya tidak bersambung)


=>> Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan seorang rawi atau kecacatannya

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:

Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai orang yang adil.

Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang-orang yang adil yang semula rawi yang dita'dilkan belum dikenal sebagi rawi yang adil.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditentukan dengan dua jalan sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya.

Kedua, berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat (menurut ulama Muhadditsin) sedang menurut para fuqaha' sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

=>> Syarat-syarat bagi orang yang menta'dilkan dan men-tajrihkan:

1.Berilmu pengetahuan
2.Taqwa
3.Wara' (orang yang selalu menjauhiperbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4.Jujur
5.Menjauhi fanatik golongan
6.Mengetahui sebab-sebab untuk menta'dilkan dan mentajrihkan.


Menta'dilkan atau mentajrihkan sesorang tanpa menyebutkan sebab-sebanya masih diperselisihkan oleh para ulama, tetapi pendapat yang banyak dianut oleh kebanyakan para muhadditsin adalah menta'dilkan seorang rawi tanpa menyebutkan sebab-sebabnya adalah diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali. Sedangkan untuk men-tajrih-kan seorang rawi tidak diterima tanpa menyebutkan atau menerangkan sebab-sebabnya.

3. Perlawanan antara jarh dan ta'dil

Dalam hal ini ada 4 pendapat ulama:

=> Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'adilnya lebih banyak dari pada jarhnya, pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama.

=> Ta'dil harus didahulukan dari pada jarh.

=> Bila jumlah mu'adilnya lebih banyak dari pada jarihnya didahulukan ta'dil.

=> masih tetap dalam keta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang merajihkannya.



4. Susunan lafadh-lafadh untuk menta'dilkan dan mentajrihkan rawi

Susunan lafadh-lafadh untuk menta'dilkan rawi
Ibnu hajar menyusunya menjadi 6 tingkatan, yaitu:

Tingkatan I
Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawidalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadhyang berbentuk af'alut-tafdil. Misalnya: أوثق الناس : Orang yang paling tsiqah

Tingkatan II
Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifat yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya: ثقة ثقة : Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah.

Tingkatan III
Menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya: ثقة : orang yang tsiqah.

Tingkatan IV
menunjuk kedhabitan dan keadilan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya: صدوق : orang yang sangat jujur

Tingkatan V
Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan, Misalnya: محله الصدق : orang yang bersetatus jujur.

Tingkatan VI
Menunjuk arti mendekati cacat atau aib dengan membubuhi kalimat “Insyaallah” atau lafadh itu ditasghirkan (pengecilan arti) atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
صدوق إنشاء الله : orang yang jujur insyaallah.

Susunan lafadh-lafadh untuk mentajrihkan rawi
Ada 6 tingkatan juga

Tingkatan I
Menunjukkan kepada keterlaluan rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh tafdhil
Misalnya: أوضع الناس : orang yang paling dusta

Tingkatan II
Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk sighath muballaghah.
Misalnya: كذاب : orang yang pembohong
Tingkatan III
Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong dsb. Misalnya: فلان مبتهم بالكذب : orang yang dituduh bohong

Tingkatan IV
menunjukkan kepada kesangatan lemahnya. Misalnya: فلان ضعيف : orang yang lemah

Tingkatan V
Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya: فلان لا يحتج به : orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya.



Tingkatan VI
Mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya: فلان مقال فيه : orang yang diperbincangkan

Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini, karena sudah disepakati oleh jumhur ulama bahwa semua sahabat adalah dipandang adil, karena itu semua periwayatan mereka dapat diterima.
Apabila kita temukan sebagaian ahli jarh dan ta'dil menjarhkan seorang rawi, maka kita tidak perlu segera menerima pentarjihan tersebut, tetapi hendaklah kita selidiki terlebih dahulu.

Penutup
Bagaimanapun segala paparan di atas harus dikaji ulang terutama historis kodifikasi Hadits dari zaman ke zaman, sehingga mampu untuk menyingkap tabir-tabir yang menghalangi fakta kemurnian hadits dan menyingkirkan syubhat-syubhat yang sengaja dibuat oleh orang -orang yang ingin menghancurkan islam,sesuatu yang kita klaim sebuah kebenaran belum tentu itu kebenaran yang senantiasa benar dari generasi ke generasi, boleh jadi sebuah historis yang kita anggap fakta ternyata dimanipulasi oleh sebuah ideologi politik atau golongan tertentu.

Demikianlah makalah yang singkat ini, mudah-mudahan bisa menambah wawasan kita dalam kajian metodologi ilmu hadits, untuk mendalami ilmu hadits silahkan para pembaca untuk merujuk kepada buku-buku yang berkenaan dengan tema-tema yang pemakalah tuliskan.

Sumber-sumber pengambilan dan bacaan

1.Ikhtishar Musthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman, PT.Alma'arif, Bandung, Indonesia
2.Manahijul Muhadditsin, Diktat Kuliyah Universitas Al-Azhar Jurusan Usuluddin, Dr. Al-Khusu'iy Al-Khusu'iy Mohammad Al-Khusu'iy
3.Rawatu-l-Hadits wa Thabaqatihim, Dirasah wasfiyah takhliliyah, Dr. Mosthafa Mohammad Abu 'Imarah, Maktabah Iman, Giza, Cairo
4.Mausu'ah Ulumul hadits, Wazaratul Al-Auqaf Majlis a'la li su'unil Al-Islamiyah, Republik Arab Mesir, 2007.M-1428.H
5.Om Google.com

@Ditulis dengan Openoffice.org Writer 2.4 di atas sistem Linux Ubuntu 8.04 Hardy Heron-april 2008

Tidak ada komentar: