16 Februari, 2011

Kekuasaan, Pemerintahan dan Negara Islam dalam Perspektif Ahli sunnah

Kekuasaan, Pemerintahan dan Negara Islam dalam Perspektif Ahli sunnah


I Prolog
Akhir-akhir ini, terutama setelah Era revormasi menumbangkan orde baru, banyak muncul wacana-wacana bahkan gerakan keislaman betujuan untuk membentuk sebuah negara Indonesia yang berasaskan islam, Negara berdasarkan Al-Qur'an dan As-sunnah atau disebut juga dengan khilafah islamiyah. Sebenarnya sistem khilafah islamiyah (negara islam) sudah pernah ada di bumi nusantara ini jauh sebelum bangsa ini menjadi sebuah Negara kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Sejarah mencatat bahwa kerajaan samudra Pasai yang brada di pesisir pulau Sumatera adalah kerajaan yang menganut agama Islam pertama kali, pendiri kerajaan Samudra Pasai adalah Nazimuddin alkamil seorang laksamana laut dari Mesir yang berhasil merebut pelabuhan kambayat di Gujarat, India pada tahun 1238 M. Tujuannya untuk menguasai dan memasarkan barang-barang perdagangan dari timur, kemudian Nazimuddin alkamil meluaskan kekuasaannya ke bagian utara Sumatera dengan mendirikan kerajaan Samudera Pasai yang berasaskan hukum islam.1 Maka tidak menjadi aneh jika bangsa ini senantiasa dirongrong oleh beberapa pihak yang tidak puas dengan sistem pemerintahan yang ada, Bahkan terekam dalam sejarah bangsa Indonesia telah terjadi usaha Kudeta untuk mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi negara Islam Dari prolog ringkas ini, Munculah berbagai pertanyaan di sekitar ruang lingkup khilafah islamiyah. diantaranya; Bolehkah tunduk pada pemerintahan atau pemimpin yang tidak berasaskan ajaran islam?, Apa dan Bagaimana bersikap terhadap pemerintahan yang zhalim?, Negara islam apakah sebuah pemberian yang ditakdirkan Tuhan kepada siapa yang dikehendakinya?, Bagaimana konsep Ahl al-Sunnah tentang kekuasaan dan pemerintahan islam?, Apa pengaruh Iman dan Amal kaum Muslimin terhadap penguasa dan pemerintahan?, inilah diantara beberapa pertanyaan mendasar pada tulisan ini, untuk pembahasan atas permasalahan ini kita awali dengan pengertian tentang Imamah dan Khilafah dari segi bahasa (etimologi) dan pendapat beberapa Ulama dari segi termilogi. ***
II
Imamah dan Khilafah (Pemimpin)
Secara etimologi kata imamah berarti tampil ke muka, seperti kamu berkata: kamu mengimami suatu kaum, artinya kamu maju ke depan atau berada di depan mereka. Imam adalah suatu yang diikuti oleh manusia seperti seorang pemimpin atau kepala, baik yang benar atau yang sesat. Kata “imam” disisnonimkan juga dengan kata “khalifah” yang berarti penguasa atau pemimpin tertinggi. 2
Menurut Syaikh Abu Zahra seorang ulama kontemporer di dalam diskursusnya, “Dinamakan khilafah karena ia menjadi pemimpin tertinggi yang menggantikan peran nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di dalam mengatur urusan kaum muslimin, dan dinamakan imamah karena khalifah tersebut juga sebagai seorang imam, karena mentaati seorang imam hukumnya wajib dan orang yang berjalan di belakang imam laksana mereka yang mengerjakan shalat di belakang orang yang mengimami mereka”3
Dalam kamus Lisân al-`Arab, Ibnu Manzhûr mendefinisikan “al-imâm” (=pemimpin), yang dalam kajian etimologisnya merupakan akar kata dari “al-imâmah,” sebagai orang yang diikuti oleh kaumnya dalam komunitas yang baik atau sebaliknya. 4 Begitu juga dalam al-Qamûs al-Muhîth karya Majduddîn al-Fairûz Abâdî, kata “imâm” berarti orang yang diikuti dan dipatuhi, seperti presiden, ketua dan lainnya.
Secara termenologis, menurut Ibnu Khaldûn dalam karya agungnya, al-Muqaddimah, kepemimpinan adalah sebuah tanggung-jawab besar terhadap semua permasalahan syari`at demi kebaikan akhirat (=al-mashâlih al-ukhrawiyyah) dan kebaikan dunia (=al-mashâlih al-dunyawiyyah) secara bersamaan.5 Karena pada dasarnya semua kebaikan di dunia akhirnya untuk kebaikan akhirat juga, sehingga kepemimpinan dalam Islam hakikatnya sebagai pengganti (=khalîfah) Tuhan dalam menjaga agama dan politik dunia. Dalam pengertian ini, Ibnu Khaldûn lebih cenderung menjadikan pemimpin sebagai mandataris Tuhan untuk kebaikan umat di dunia maupun di akhirat. Kata imamah tidak terdapat dalam Al-Qur'an Al-Karim, tetapi kata yang disebutkan dalam Al-Qur'an adalah kata “Imam” dan “a'immah”
kata “imam” disebutkan dalam surah Al-Baqarah:124,
إنى جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال لا ينال عهد الظلمين (البقرة: 124)
“Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia, Ibrahim berkata, 'dan saya mohon juga dari keluargaku.' Allah berfirman, 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang- orang yang zalim,'
kata “a'immah” terdapat dalam firman Allah surah Al-anbiya': 73
وجعلنهم أئمة يهدون بأمرنا (الأنبياء : 73)
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami,”
kata imam disandangkan bagi seorang pemimpin atau penguasa kaum muslimin yang dapat diketahui berdasarkan arti etimologis dari kata imam itu sendiri, kita juga mendapatkan bahwa kata imam dan khilafah merupakan dua kata yang bersinonim.***
III
Siapakah “Ahli Sunnah wal Jama'ah?”
Kalau dikaji lebih dalam makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, yang bisa dipahami dari beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, maka bisa diketahui siapa sebenarnya mereka?, Dan Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu bisa diidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dengan mengkaji dari berbagai segi yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka.
Ditinjau dari berbagai sudut pandang yang menyangkut dengan definisi, sifat-sifat, ciri-ciri serta manhaj mereka maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. (Tabi'ien) Merekalah yang meneruskan tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka generasi yang hidup sesudah sahabat Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus shaleh, yakni orang-orang yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama.
Keempat, Ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, sesuai dengan sabda Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, “Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..”
Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah , dan zaman sudah rusak. mereka yang disebut aneh dan asing adalah yang berusaha mengamalkan sunnah-sunnah Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, Hal itu berdasarkan sabda beliau nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
“Semula Islam itu gharib (asing) dan akan kembali asing. sungguh beruntung orang-orang yang asing”.
Menurut penulis, seluruh kaum muslimin yang menyakini keesaan Allah swt dan mengikuti petunjuk Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, yang tetap berpegang pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah dan tidak menuruti keinginan-keinginan nafsu serta membenci hal-hal bid’ah menyesatkan (=dhalalah), mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar. mereka adalah golongan yang selamat seperti yang dikabarkan oleh Beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam beberapa hadist tentang akan terjadi perpecahan pada umatnya menjadi berbagai firqah/golongan dan hanya satu firqah yang selamat.***

IV

Kenapa dinamakan 'Ahli sunnah wal Jama'ah?”
Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, dan sunnah khulafaurrasyidin sebagai mana disebutkan dalam sabdanya;,
عليكم بسنتى وسنة خلافاء الراشدين
“Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin.”
Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti. Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah.
Sementara kalimat “al jama'ah” karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah.
nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“tidak akan berkumpul atau sepakat Umatku dalam kesesatan”,
Hadits lainnya menyebutkan: عليكم بالجماعة
Kalian tetaplah dalam jama'ah!”
Maksudnya tidak boleh keluar dari jama'ah kaum muslimin. Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja. Sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka, Pemimpin atau imam pembawa hidayah yang menjadi pelita umat dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. ***

V

Di kalangan umat Islam, kepemimpinan merupakan masalah sangat urgen, di mana ia disinyalir sebagai faktor utama yang menyebabkan perpecahan umat Islam menjadi beberapa sekte dan aliran.6 Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (I/23), bahwa masalah Imâmah dalam Islam adalah masalah yang paling penting dan termasuk permasalahan umat yang paling mulia. Begitu juga ungkapan al-Syahrastânî dalam al-Milal wa al-Nihal (I/25), bahawa masalah Imâmah dalam Islam merupakan masalah yang telah banyak menimbulkan kezhaliman atau memakan korban. Imam Abu Hasan al-‘Asy`ari mengatakan dalam Maqâlât Islâmiyyîn (I/39), sesungguhnya peristiwa penting yang terjadi pertama kali setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi Wasallam. adalah perbedaan atau perselisihan para sahabat dalam masalah kepemimpinan.
Urgensi kepemimpinan dalam Islam seperti pernyataan-pernyataan di atas itulah yang kemudian menjadi sumber bencana besar (=al-fitnah al-kubrâ) dan menjadi salah satu bahasan yang urgen dalam bidang ilmu ushûl al-dîn (=akidah) khususnya dalam pandangan aliran Syi`ah. Perbedaan pola pandang terhadap kepemimpinan telah menyebabkan umat islam menjadi terpecah-pecah menjadi beberapa aliran, Penulis akan menyebutkan perspektif khilafah (kepemimpinan) menurut dua aliran besar yang masih eksis hingga saat ini yaitu aliran Syiah dan Ahl al-Sunnah.
Kepemimpinan menurut pandangan syiah
Dalam pandangan Syi`ah kedudukan pemimpin (=imam) sama dengan kedudukan Nabi secara keseluruhan, bedanya hanya karena pemimpin (=imam) tidak mendapatkan wahyu secara langsung.7 Kedudukan para Imam tersebut seperti pintu-pintu dan jalan-jalan menuju Allah swt. sebagai wasilah petunjuk bagi mereka, maka ketaatan dan ketundukan kepada para pemimpin sama dengan ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Karena imâmah menurut Syi`ah adalah tangan kanan Tuhan di muka bumi. Seorang imam adalah pemegang otoritas mutlak dalam agama. Karena eksistensi agama setelah Rasulullah tiada harus tetap diteruskan, kehadiran seorang imam sebagai pemegang otoritas menjadi penyempurna risalah kenabian Muhammad saw, bahkan sebagian dari tokoh agama meraka (Syiah) berpendapat bahwa kedudukan Imam dalam pandangan mereka tidak berbeda dengan kedudukan Nabi yang mendapatkan wahyu secara langsung dari Tuhan begitu juga dalam hal `ishmah (kesucian), sifat dan ilmunya. kadang kala kedudukan para Imam dalam Syi`ah menjadi lebih tinggi dari pada Nabi.
Kepemimpinan Menurut Pandangan Ahl al-Sunnah
Ahl al-Sunnah memandang masalah kepemimpinan umat Islam setelah nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam dipandang sebagai masalah biasa, seperti masalah-masalah furû` lainnya dalam pembahasan fiqih. Menurut mereka, seorang khalifah (=pemimpin umat) boleh dipilih dari siapa saja yang kira mampu menjalankan amanah, punya kredibilitas serta tanggung-jawab dalam menangani semua urusan umat Islam, atau singkatnya, telah memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin. Menurut pemahaman Ahl al-Sunnah juga, kepemimpinan setelah Rasul sepenuhnya diserahkan kepada umat dan tidak terdapat ketentuan secara khusus kepada orang perorang. yaitu lebih menekankan kebebasan (=al-hurriyyah) dalam menentukan figur kepemimpinan, tidak terkungkung oleh justifikasi teks yang kaku. kepemimpinan diserahkan sepenuhnya kepada umat dengan kriteria-kriteria pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam. Kepemimpinan seperti ini lebih mirip dengan konsep demokrasi dalam pandangan politik modern. Pandangan ini dimiliki oleh mayoritas shahabat R.a, oleh karenanya pandangan seperti ini juga disebut sebagai pandangan Jumhur, atau suara mayoritas. berbeda dengan Syi`ah memandang, masalah kepemimpinan termasuk permasalahan pokok agama, posisi kepemimpinan dalam pandangan mereka sama dengan kenabian, ia adalah mandataris ketuhanan, Tetapi secara umum Ahl al-sunnah sepakat dengan Syiah perihal wajibnya kepemimpinan dalam islam.***

VI

Perbedaan Antara Ahl al-Sunnah Dan Mu'tazilah serta Khawarij dalam Konsep Kekuasaan Dan Kepemimpinan
Konsep Ahl al-Sunnah tentang Kekuasaan dan kepemimpinan
Menurut Pendapat Ahl as-Sunnah sesungguhnya kepemimpinan dan kekuasaan adalah takdir yang ditentukan Allah swt kepada siapa saja yang dikehendakinya serta berada di bawah kekuasaan-Nya dan bukan bagi siapa yang berkehendak atau berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dan kepemimpinan adalah takdir yang diberikan Allah swt kepada yang dikehendakinya melalui faktor atau asbab-asbab ghaibiyah yaitu iman dan amal shaleh. disebut sebagai takdir yang ditetapkan Allah swt maksudnya bahwa perkara kekuasaan dan kepemimpinan ini sudah ditetapkan Allah swt sebelum Ia menciptakan kekuasaan-kekuasaan dan pemegang kekuasaan itu. Allah swt, sudah menetatapkan kepada siapa kekuasaan atau kekhalifahan itu akan diberikan-Nya. sebagai contoh Allah swt telah memberikan kekuasaan dan pemerintahan kepada Nabi Daud as, Nabi sulaiman as, Nabi Yusuf as, Namrud. Begitu juga Allah swt telah menetapkan Firaun menjadi penguasa Mesir dan mempunyai kekuasaan yang besar. Untuk memperkuat pendapat ini Ulama-ulama Ahl-al-sunnah memberikan dalil dari Al-qur'an;
قل اللهم ملك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعزمن تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيئ قدير (سورة آل عمران : 26 ) “Katakanlah: Wahai tuhan yang mempunyai kerajaan, engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di tangan engkaulah segala kebajikan, sesunggunya engkaulah maha kuasa atas segala sesuatu (surah Ali Imran:26)” Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: Allah swt berfirman kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, “katakanlah Wahai Muhammad dengan mengagungkan Tuhanmu dan bersyukur padaNya serta bersandar dan bertakwakal padaNya”, “Engkau“wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan” (semua kerajaan dan kekuasaan adalah milik Engkau), memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (Engkau yang memberi dan Engkau pula yang menahan, Engkau berkehendak maka terjadi dan apabila tidak engkau kehendaki maka tidak akan terjadi).8 Imam Thabary menafsirkan ayat: تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء “(Engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki)”. Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan atau pemerintahan berada di Tangan Allah swt dan bukan kepada selainNya. إنك على كل شيئ قدير " (sesunggunya engkaulah maha kuasa atas segala sesuatu)” . Maksudnya Tidak ada yang mampu mengubah takdir ini melainkan Engkau dan engkaulah penentu segalanya).9 Dengan mengetengahkan penafsiran dari dua ulama tafsir terkemuka di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan dan pemerintahan menurut konsep Ahl al-sunnah adalah bagi orang yang ditakdirkan Allah swt untuk berkuasa dan memimpin.
Konsep Mu'tazilah dan khawarij tentang kekuasaan dan kepemimpinan
Mu.tazilah dan khawarij berpendapat bahwa kekuasaan bukanlah pemberian atau ketentuan (takdir) dari Allah swt bagi orang yang dikehendakinya, bukan juga atas pilihan dan ketentuan Allah swt. mereka berpendapat bahwa kekuasaan adalah perkara yang diusahakan (كسبي) bagi orang yang berkehendak untuk menjadi penguasa atau mencari kekuasaan, tetapi mereka berpendapat bahwa kekuasaan yang diberikan atau ditakdirkan Allah swt kepada yang dikehendakiNya sebagai mana dalam surah Ali Imran ayat 26 adalah penguasa yang adil, bukan penguasa yang zhalim, karena tidak boleh bagi Allah swt untuk memberikan atau menjadikan penguasa yang zhalim, karena Allah swt sendiri mengatakan dalam firmanNya: (لا ينال عهد الظالمين) سورة البقرة 124
“JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang lalim” (Al-Baqarah 124).
juba'iy berkata: “kekuasaan yang diberikan Allah swt kepada orang yang dikehendakiNya adalah khusus bagi penguasa/pemimpin yang adil dan bukan orang yang zhalim. tidak boleh bagi Allah memberi kekuasaan atau membuat pemimpin yang lalim, Bagaimana tidak, sedang Allah sendiri mengatakan perkara kekuasaan tidak untuk diberikan kepada orang yang zhalim. “JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang lalim” (Al-Baqarah 124).
Pendapat ini lemah. para ulama Ahl al-sunnah membantah pendapat ini dengan argumen-argumen yang lebih bisa diterima. Jika kekuasaan yang adil adalah pemberian Allah swt sedangkan kekuasaan yang zhalim bukan pemberian atau ketentuan dari Allah swt, maka pendapat ini telah menafikan sifat Allah swt yaitu Allah Maha Berkehendak, Maha Berkuasa. Berarti Allah swt tidak ikut campur dalam perkara pemerintahan atau penguasa zhalim, Allah swt tidak ikut campur dalam berdirinya kedaulatan suatu negara, Munculnya suatu negara dan hancurnya di luar perbuatan Allah swt, di luar urusanNya dan bukan takdir dari Nya. Jika demikian maka tidak bisa diterima dari sisi aqidah, pendapat Mu'tazilah di atas juga telah dibantah oleh Imam Ar-razy; Mereka Mu'tazilah telah menafikan sifat Allah swt (الصانع), dan telah berbohong/mengingkari dengan apa yang ditetapkan Allah swt bahwa Dia memberikan kekuasaan kepada orang yang dikehendakiNya dan bahwa kekuasaan itu berada di TanganNya”.
Allah swt telah menetapakan Namrud berkuasa sedangkan Ia adalah penguasa yang paling kafir dan lalim pada zamannya. musuh nabi Ibrahim as, dalam firmaNya
ألم ترى إلى الذي حاج إبراهيم فى ربه أن آتاه الله الملك" (سورة البقرة آية: 258)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang TuhaNya (Allah) Karena Allah telah memberikan kepada orang itu (Namrud) Pemerintahan”
Jelas dari ayat ini dapat dipahami bahwa kekuasaan atau pemerintahan Namrud adalah pemberian dan takdir dari Allah swt, walaupun Ia adalah penguasa yang lalim dan sombong.
imam al-Baidhawy berkata: Ayat ini sebagai hujah atas pendapat bahwa pemerintahan yang lalim atau penguasa kafir bukan pemberian atau takdir yang ditetapkan Allah swt.1
Begitu juga Allah swt berkehendak kepada Firaun untuk menjadi penguasa, Jalut dan selain keduanya menjadi penguasa lalim dan ini jauh dari usaha keduanya untuk menjadi penguasa kerajaan, akan tetapi takdir Allah swt yang menetapkan mereka berkuasa.
imam Al-qurthuby menulis dalam tafsirnya, menerangkan dan menguatkan pendapat manhaj Ahl-al-sunnah tentang konsep kekuasaan adalah pemberian/ketetapan Allah swt dengan menafsirkan ayat:
أنى يكون له الملك علينا ونحن أحق بالملك منه (سورة البقرة آية : 247)
“Mereka menjawab “Bagaimana Thalut memmerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya”
Nabi mereka berhujah dan menjawab: “ إن الله اصطفاه". “Sesungguhnya allah swt yang memilihnya”.2 Sebelum menutup pembahasan dalam bab ini penulis nukilkan perkataan Ibnu Hajr al-Asqalany yang menguatkan mazhab Ahl al-Sunnah dan membantah pendapat kaum Mu'tazilah:
Sesungguhnya kekuasaan adalah milik Allah dan pemberian Allah swt, baik yag meminta kekuasaan maupun yang tidak meminta. yang berhak maupun yang tidak berhak, yang kafir atau lalim maupun yang adil. semuanya adalah pemberian Allah swt.Sebagai contoh seperti Namrud, Firaun, Penguasa kafir dan lalim. Penguasa dari para Nabi-nabi, seperti Nabi Yusuf as, Daud as, sulaiman as, mereka adalah penguasa yang adil dan bijaksana....3
***
VII
Janji Allah swt Kepada Orang Beriman Bahwa Mereka Akan Berkuasa Di Bumi
Allah swt telah menetapkan dalam sunah kauniyahNya bahwa amalan agama yang tidak memiliki ruh hakikat atau hanya sekedar gambar/simbol tidak akan mampu menurunkan pertolongan Allah swt dan janji-janjiNya kepada umat ini. pertolonganNya dan janjiNya hanya akan diberikan kepada orang beriman yang mengamalkan perintahNya dengan sempurna yaitu setiap amalan yang dibuat memiliki ruh hakekat bukan hanya sekedar gambar atau simbol-simbol agama. 4 Allah swt berfirman:
وعد الله الذين آمنوامنكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم فى الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا (سورة النور آية :55)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang -orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mensekutukan sesuatu apapun dengan Aku”. (an-Nur:55)

Untuk mengamalkan perintah Allah swt yang hanya menghasilkan bentuk atau simbol saja tidaklah sulit, tetapi menjadi sulit dan butuh usaha yang besar apabila mengamalkan perintah tersebut untuk mencapai hakekat/ruh amalan tersebut. umat islam tidak akan sampai pada hakekat/ruh amalan tanpa memiliki hakekat kesempurnaan agama dan iman. karena agama dan iman tanpa adanya hakekat/ruh hanya akan menghasilkan gambar atau simbol. Amalan agama yang menghasilkan atau sampai pada hakekat/ruh amalan tersebut contohnya melaksanakan perintah shalat dengan khusu' dan khudu', Pembaca Al-Qur'an dan mengamalkan kandungannya, Ta'lim/tabligh yang diamalkan oleh penceramah dan pendengarnya. sebaliknya jika amalan-amalan di atas hanya sekedar dilaksanakan untuk bebas daritanggung jawab saja maka inilah disebut amalan agama yang hanya menghasilkan bentuk/simbol yang kering dari hakekat/ruh sebuah amalan. Rasulallah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Berapa banyak orang berpuasa dan tidak mendapatkan apaun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”
Ini contoh amalan puasa yang hanya menjadi gambar atau simbol. amalan puasa yang tidak menghasilkan ruh dan hakekat amalan. Semua janji Allah swt dan pertolonganNya kepada orang beriman dalam Al-Qur'an akan menjadi kenyataan apabila mereka mempunyai hakekat iman dan amal sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. termasuk janji Allah swt kepada orang beriman akan berkuasa di atas muka bumi ini sebagaimana Allah swt telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang hidup pada abad/zaman keemasan Islam yaitu masa nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, zaman sahabat dan tabi'ien.
Bani Israil pada masa pemerintahan Aziz suami Zulaikha penguasa kerajaan Mesir waktu itu dengan bendahara kerajaannya nabi Yusuf as, Hijrahnya Bani Israil ke Mesir dikarenakan bencana kelaparan dan kemarau yang panjang, Bangsa Israil di Mesir sangat di dihormati dan dimuliakan, tetapi ketika mereka sudah tidak memiliki hakekat iman dan amal maka Allah swt lantik atas mereka penguasa lalim yaitu Firaun yang memperbudak mereka dengan kejam, anak laki-laki mereka dibunuh dan yang perempuan dibiarkan hidup, maka Allah swt mengutus nabi Musa as dan nabi Harun as untuk mengembalikan hakekat iman dan amal bani Israil. Nabi musa as berdakwah pada bani Israil dalam masa 40 hari mengusahakan atas keimanan mereka hingga akhirnya bani Israil bangkit dari ketidak berdayaanya. setelah itu Allah swt menghancurkan kekuasaan firaun dan pengikutnya dangan menenggelamkan di laut Qalzam, lautan Merah di Timur Tengah.
Sebelum kedatangan nabi Musa as mengusahakan keimanan Bani Israil, Mereka Bani Israil hanya memiliki gambar iman bukan hakekat, sedangkan Firaun memimiliki hakekat kebatilan. maka Firaun menindas dan memperbudak bani Israil.
Allah swt tidak memerintahkan nabi Musa as untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan untuk menyelamatkan bani Israil dari penindasan dan perbudakan, tetapi diutus untuk usaha atas iman dan amal bahkan diutus secara khusus untuk berdakwah kepada Firaun agar Firaun beriman kepada Allah swt. ketika Firaun menolak dan membangkang dakwah sedangkan bani Israil menerima dakwah maka Allah swt menghancurkan kekuasan Firaun dan membebaskan bangsa Israil. Dengan mencermati kisah di atas dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan suatu pemerintahan atau pemimpin yang adil adalah dengan menyempurnakan iman bukan dengan kudeta atau mengubah suatu pemerintahan yang tidak berasakan islam menjadi pemerintahan islam (negara Islam). Kekuasaan adalah hadiah dari Allah swt setelah keimanan amalan sempurna. keadaan tidak berubah jika bukan umat sendiri yang merubahnya. firmanNya:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم و إذا أراد الله سوء فلا مرد له و ماله من دونه من وال (سورة الرعد آية 11)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga ia mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum maka tak ada yang dapat menolaknya. dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar-ra'd : 11)
Maksud mengubah keadaan bukan dengan mengambil alih kekuasaan ketika mendapatkan pemerintahan yang zhalim, bahkan dalam keadaan mendapatkan pemerintahan yang zalimpun diperintahkan untuk bersabar dan berdo'a.5 juga diharamkan memberontak pada pemerintahan tersebut. FirmanNya:
قال موسى لقومه استعنوا بالله واصبروا إن الأرض لله يورثها من يشاء من عباده و العاقبة للمتقين (سورة الأعراف آية 128)
“Musa berkata kepada kaumnya; Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah: Dipusakakn-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya.dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa (Al-A'raf : 128)
Tetapi mengubah apa yang ada pada diri kita sendiri, sesuatu yang sangat berpengaruh dengan akhlak dan perbuatan, Rasulallah shalallahu 'alaihi wasallam memberitahu dalam mafhum haditsnya:
“Sesungguh dalam jasad ada segumpal daging, apabila daging ini baik maka akan baik segala perbuatannya tetapi apabila buruk maka akan buruk semuanya, ia adalah hati”
Dunia, suasana dan keadaan akan menjadi baik apabila perbuatan manusia menjadi baik, perbuatan manusia akan baik apabila hatinya baik dan hati menjadi baik jika keyakinan dan keimanan kepada Allah swt sempurna. keyakinan dan keimanan itu letaknya di hati.
Begitulah sunatullah di dunia ini, umat islam akan kembali berkuasa dan berjaya apabila mereka memiliki hakekat iman dan amal. Penguasa atau pemerintahan yang adil adalah buah atau hasil dari kesempurnaan iman dan hakekat amalan shaleh, karena Allah swt akan melantik seorang pemimpin yang adil apabila iman dan amal tidak sekedar gambar, simbol dan nama. seorang pemimpin yang baik dan shaleh sekalipun menjadi penguasa tetapi amalan dan keyakinan umat rusak maka Allah swt akan menjadikan pemimpin yang baik tersebut menjadi pemimpin yang zhalim.***
dengan wujudnya hakekat iman dan takwa serta taat pada perintah Allah swt dan Rasulnya menjadi sebab kebangkitan umat untuk berkuasa di muka bumi ini yaitu menjadi khalifah Allah swt. Hakekat iman dan takwa yang tumbuh kembang dalam individu-individu setiap muslim akan membuahkan hasil dan pengaruh besar dalam kehidupan manusia seperti anak ayam dalam telur, ketika telah sempurna sifatnya dan bentuk tubuhnya, kemudian Allah swt meniupkan roh kedalamnya maka berubah hidup anak ayam tersebut. kemudian dengan paruhnya yang kecil Ia berusaha memecahkan cangkang telur yang mengurungnya, maka dengan usahanya ia mampu memecahkan cangkang tersebut. inilah perumpamaan hakekat iman dan amal yang tumbuh-kembang dalam pribadi seorang muslim akan mampu menghancurkan kebatilan di sekelilingnya. tetapi jika anak ayam tersebut belum sempurna sifat dan kejadiannya maka tidak akan mampu untuk menghancurkan cangkang telur yang mengelilinginya dan keluar darinya. sama seperti iman yang belum mencapai hakekat kesempurnaan tidak akan mampu mengubah keadaan umat dan menjadi penyebab turunnya pertolongan yang dijanjikan Allah swt kepada kaum muslimin.
Perang Badar menjadi saksi sejarah dengan keadaan kaum muslimin waktu itu yang hanya berjumlah sedikit dan peralatan perang mereka sangat kurang kalau dibandingkan dengan jumlah pasukan musuh dari kafir Qurays. tetapi dengan hakekat keimanan dan amalan serta ketakwaan kaum muslimin, patuh atas perintah Allah swt dan rasulnya mereka berhasil memenangkan peperang tersebut.
Sejarah islam juga telah merekam bagaimana dengan kekuatan iman yang ada pada sahabat al-Faruq Umar bin al-Khatab R.a, dengan bajunya yang penuh tambalan menerima kunci Baitul Maqdis tanpa ada perlawanan sedikitpun dari musuh. Begitu juga ketika shalahuddin Al-ayubi ingin merebut Baitul Maqdis beliau hanya membawa tentaranya yang bangun malam bertahajud, karena Ia yakin pertolongan Allah swt bersama mereka.
Semua nabi-nabi yang diutus pertama kali yang diusahakan adalah memperbaiki iman dan keyakinan umat, kemudian ibadah, mua'malah dan mu'asyarah setelah itu yang terakhir adalah politik kekuasaan yang berfungsi sebagai proteksi agama dan mengokohkan keberadaan nabi dan kaumnya dari bahaya musuh yang mengancam. berbeda dengan keadaan umat hari ini, ketika mereka melihat kezhaliman dan ketimpangan dalam pemerintahan dengan tergesa-gesa ingin mengangambil dan mengubah pemerintahan tersebut tanpa mengikuti tertib yang telah ditentukan Allah swt dan yang telah ditempuh dan dirintis oleh para utusan-Nya, akhirnya menimbulkan fitnah besar dalam umat islam, sehingga kaum muslimin diteror dan diskriminasikan dengan alasan Teroris yang mengganggu perdamain dunia.
Kita tengok kembali sirah an-nubuwah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak memulai merubah umatnya khususnya bangsa Arab melalui kekuasaan dan politik, dalam perjalanan dakwahnya Ia pernah ditawari untuk menjadi raja Arab tetapi Beliau tolak tawaran itu, padahal secara akal jika Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam menjadi penguasa atau raja dan memiliki kekuasaan Ia akan mudah menyebarkan pengaruhhya dan ajaran yang dibawanya. Beliau saw lebih memilih menggunakan metode yang digunakan oleh saudara-saudaranya para anbiya' sebelumnya dan sudah teruji keunggulannya dan kesuksesan yang dicapai dengan metode tersebut, yaitu metode nubuwah yang langsung mendapat rekomendasi dari sang pencipta. Maka Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam memulai usaha untuk mengubah umat dengan menyempurnakan iman dan keyakinan umat selama tiga belas tahun di Kota Makkah dan ketika iman sudah sempurna, Allah swt memberikan hadiah besar yaitu negara islam dan kekuasaan yang berwibawa di Madinah al Munawwarah. demikianlah konsep kekuasaan, pemerintahan dan kepemimpinan menurut perspektif Ahl as-Sunnah wal Jama'ah. Wallahu A'lam bishawab.


KATA KUNCI
Pemerintahan dan Kekuasaan; Imamah dan Khalifah; Ahl al-Sunnah; Syi'ah; Keimanan dan Keyakinan; Amal Shaleh; Negara Islam













1 I Wayan Badrika, Sejarah, Hal. 88, Erlangga 2 Majmu' allughah al-arabiyah, Mu'jam al Wajiz, Dar Handatsiyah, Kairo 3 Ali Ahmad Salus, ENSIKLOPEDI SUNNAH-SYIAH,Studi perbandingan Aqidah dan Tafsir 4 Ibnu Manzhûr, Lisân al-`Arab, materi امم 12/24 5 Ibnu Khaldûn, al-Muqaddimah, dikutip dari Fî Madzâhib al-Islâmiyyîn, hal. 410 6 Dr. Ibrahim al-Fayyumî, Târîkh al-Firaq al-Islamiyyah al-Siyâsî wa al-Dînî, al-Syî`ah al- Syu`ûbiyyah wa al-Itsnâ `Asyariyyah, Dâr al-Fikr al-`Arabî, Cairo, 2002. hal. 7 7 `Ali Ahmad al-Salûsî, op. cit., hal. 45 8 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Hal, 356 9 Atthabari, Jilid 3. Hal, 223
1 Al-Baidhawy. dalam tafsirnya Jilid 1. Hal, 559 2 Al-Qurthuby. Tafsir Qurthuby. jilid 2. Hal, 1054 3 Ibnu Hajr al-asqalany. Fathul Barri Syarh shahih Bukhari. jilid 13. Hal. 458 4 Aiman Abu Syaadi. Nazru ilmiyah fi Ahl at-tabligh wa ad-dakwah. Hal, 33. Dar el-Kutb, Cairo 5 Aiman Abu Syaadi, op. cit., Hal, 36

23 Desember, 2009

Keutamaa berpuasa pada 10 Muharram (Bulan Suro)

Bulan Haji (Dzul-hijjah) telah meninggalkan kita sedangkan bulan Muharram atau permulaan tahun baru islam (Hijriyah) telah menjumpai kita kaum muslimin, Layaknya kaum muslimin menyambut bulan yang berkah ini lebih meriah dari pada tahun baru Masehi dikarnakan sangat besar fadhilah atau keutamaannya, terutama pada 10 Muharram (Asyura'), sebab, dewasa ini kesadaran kaum muslimin untuk memperingati tahun baru islam belum optimal bahkan seringkali dilupakan orang, sehingga ketika bertepatan dengan tahun baru islam dilewati begitu saja.
Menyambut dengan meriah bukan dengan menyalakan kembang api atau pesta sebagaimana menyambut tahun baru masehi, tapi dengan amalan-amalan yang mampu menambah keimanan dan kedekatan kita kepada Allah Swt

Sejarah Tahun Baru Islam

Pola penghitungan bulan dan tahun dalam Islam dibuktikan dengan adanya perintah Rasulullah Saw. kepada shahabatnya untuk melihat hilal dalam menentukan bulan Ramadlan dan Syawal. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

“Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian, perkiraan baginya” (Mutafaqun 'alaih)

Sedangkan awal penentuan tahun Islami, dimulai pada jaman khalifah Umar bin Khattab R.a beliau mengumpulkan para ahli ilmu untuk membicarakan darimana dimulainya tahun Islami. Hal ini diperkirakan pada 16 H atau 17 H. sempat muncul berbagai pendapat, di antaranya: 1) Dihitung dari kelahiran Rasulullah. 2) Dihitung dari kematian beliau. 3) Dihitung dari hijrahnya beliau. 4) Dihitung sejak kerasulan beliau.

Pendapat-pendapat itu kemudian disimpulkan dan diputuskan oleh khalifah Umar bin Alkhatab bahwa dimulainya perhitungan tahun Islami adalah dari hijrahnya Rasulullah SAW karena sejak disyariatkannya hijrah, Allah Ta`ala memilah antara yang haq dan yang bathil. Pada waktu itu pula awal pendirian negara Islam

Perdebatan kembali muncul, setelah ditentukannya awal perhitungan tahun Islam. Yaitu untuk menentukan bulan apa yang dipakai sebagai pemula tahun baru, lalu ada yang mengusulkan diantaranya bulan Rabiul awwal karena diwaktu itu dimulainya perintah hijrah dari Makkah ke Madinah, ada juga yang mengusulkan bulan Ramadlan karena bulan itu diturunkannya Al-Qur'an.

Perdebatan kemudian berakhir setelah sebagian besar dari kalangan shahabat seperti Umar R.a, Utsman R.a dan Ali R.a sepakat bahwa tahun baru Islami dimulai dari bulan Muharram. Kenapa? Alasannya pada bulan itu banyak hal-hal atau aktifitas yang diharamkan di antaranya tidak boleh mengadakan peperangan. Kecuali dalam keadaan diserang maka diperbolehkan melawannya.

Berdasarkan kalender yang menyebar tertulis istilah Muharram ini dengan As-syura. Darimanakah kata ini diambil? Ada banyak pendapat, sebagian besar berpendapat kata Asyura berasal dari kata Asyir yang artinya kesepuluh (hari kesepuluh di bulan Muharram).


Keutamaan bulan Muharram (Suro)

Di antara keutamaannya penulis akan kutipkan beberapa hadits nabi Saw.

> Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Seutama utama berpuasa setelah puasa bulan Ramadhan ialah puasa bulan Muharram (Asyura) – yaitu 10 Muharram - dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu adalah shalat malam”. (Shahih Muslim)

> Diriwayatkan dari Abu Qatadah Al-Anshary R.a berkata: Rasulallah Saw ditanya tentang puasa hari Arafah, jawab nabi Saw “Dapat menghapus dosa tahun lalu dan dosa yang akan datang” kemudian nabi Saw. Ditanya pula tentang puasa hari Asyura. Jawab nabi Saw. “Dapat menghapus dosa tahun yang lalu”. (Shahih Muslim)

> Dari Ibnu Abbas R.a berkata: Ketika nabi Saw tiba di Madinah nabi melihat orang yahudi berpuasa pada hari Asyura', nabi bertanya “Hari apa ini ?”. Jawab mereka “Hari ini adalah hari yang baik, Pada hari ini Allah melepaskan bani Israil dari musuh mereka, karena itu nabi musa berpuasa karenanya”. Sabda nabi Saw: “Aku lebih berhak dari pada kamu dengan Musa”. Oleh karena itu nabi berpuasa dan menyuruh orang lain berpuasa pada hari Asyura'. (Shahih Bukhari)

> Dari Aisyah R.h berkata: “biasanya orang Quraisy pada masa jahiliah berpuasa pada hari Asyura'' dan nabi Saw. Pun berpuasa, ketika baginda nabi di Madinah, Baginda juga berpuasa pada hari Asyura' dan menyuruh orang lain berpuasa juga”. (Shahih Muslim)

Penjelasan:

Adapun tentang perselisihan para ulama tentang kapan afdhal berpuasa hari Asyura apakah pada hari 10 tersebut atau sebelum dan sesudahya yaitu hari 9 dan 11, sebagian ulama seperti Ibnul qayim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa Asyura terbagi menjadi tiga keadaan :

1.Berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2.Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama.*
*[Ini hadits dhaif yang didhaifkan Syeikh Albany]
3.Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makruh)
Diantara pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat pertama yang menyatakan disyariatkannya puasa di bulan Muharram di hari yang kesembilan dan kesepuluh. Pendapat ini yang dianut kebanyakan para ulama, seperti: Imam Syafi,Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari selain mereka. Hal ini berdasarkan pemaduan hadits-hadits yang dlahirnya Rasulullah melakukan puasa di hari kesepuluh sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abu Qatadah serta pernyataan Aisyah R.h
Demikian tulisan ini penulis sajikan yang diambil dari berbagi sumber semoga Semoga Allah SWT memberikan karunia dan rahmat kepada kita sehingga tergolong sebagai orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Wallahu 'Alam.





13 April, 2009

Gambar dan Hakekat Agama Islam


Dalam tulisan sederhana ini saya mengajak pembaca untuk sedikit merenungi tentang kehidupan kita di atas dunia yang singkat ini, Sebenarnya kita telah sepakat bahwa semua benda baik namanya, bentuknya, atau eksitensinya di dunia ini hanyalah gambar saja tetapi di sebalik itu semua terdapat hakekat, Dengan merenungi gambar/bentuk tersebut kita bisa memahami hakekatnya yang tersembunyi. Contoh perbedan antara gambar/bentuk dan hakekatnyalihatlah di sekeliling kita ada kayu,batu,besi, dengan benda-benda ini kita bisa membuat rumah,mobil,pesawat,sepeda dll, tapi pada hakekatnya semua benda ini adalah tanah karena berasal dari tanah maka akan hancur dan kembali ke asalnya.
Agama islam juga punya gambaran atau bentuk dan hakekat, gambar/bentuk agama islam adalah seperti shalat,puasa,haji,baca Al-qur'an dll. Ini semua hanyalah sebagian bentuk atau gambaran dari sekian banyak ibadah yang ada dalam agama ini, Sedangkan hakekat dari semua ibadah-ibadah yang kita lakukan sangat sedikit dari kita yang mau merenungkannya, untuk mengetahui hakekat dari bentuk ibadah ibadah yang kita lakukan mari kita simak cerita di bawah ini:

Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Terjadi di masa dahulu sebelum kamu, tiga orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada di dalam gua itu, ada sebuah batu besar yang jatuh dari atas bukit dan menutup pintu gua itu sehingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka, "Sungguh tidakada yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali jika kalian bertawassul kepada Allah dengan amal-amal shalehyang pernah kalian lakukan dahulu." Maka seorang dari mereka berdoa, "Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu dan sudah menjadi kebiasaanku tidak memberi minuman susu kepada seorangpun sebelum keduanya (ayah dan ibu), baik kepada keluargaku atau kepada hamba sahaya. Maka pada suatu hari saya agak jauh menggembala ternak sehingga saya terlambat tidak kembali kepada keduanya hingga malam hari dan ketika itu ayah bundaku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya dan saya segan untuk membangunkan keduanya tetapi saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapapun sebelum ayah bundaku. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar lalu bangunlah keduanya dan minum susu yang saya perahkan itu. Padahal malam itu anak-anakku juga menangis meminta susu itu di dekat kakiku. Ya Allah, jika saya lakukan itu benar-benar karena mengharapkan keridhaan-Mu maka lepaskanlah kami dari kesulitan ini. Maka bergeserlah batu itu sedikit hanya saja mereka belum dapat keluar dari gua tersebut. Lalu orang yang kedua berdoa, "Ya Allah, dahulu saya pernah jatuh cinta pada anak gadis pamanku. Karena cinta kasihku saya selalu merayu dan ingin berzina dengannya tetapi ia selalu menolak hingga terjadilah pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku. Maka saya berikan padanya uang seratus dua puluh dinar dengan janji bahwa ia akan menyerahkan kegadisannya kepadaku malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya tiba-tiba ia berkata, "Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih menginginkannya dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah, bila saya berbuat itu semata-mata karenamengharapkan keridhaan-Mu maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini." Maka bergeserlah batu itu sedikit tetapi mereka belum juga dapat keluar daripadanya. Lalu berdoalah orang yang ketiga, "Ya Allah, saya dahulu menjadi majikan yang mempunyai banyak buruh dan pegawai. Pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu lalu segera pergi dan meninggalkan upahnya terus pulang ke rumahnya dan tidak kembali. Maka saya perniagakan upah itu hingga bertambah dan berbuah menjadi harta kekayaan yang banyak. Kemudian setelah berselang waktu cukup lama, buruh itu datang kembali dan berkata, "Hai hamba Allah berikan kepadaku upahku yang dahulu itu."Aku menjawab, "Semua kekayaan di depanmu yang berupa unta, lembu, kambing dan budak penggembalanya itu adalah upahmu." Orang itu berkata, "Hai hamba Allah, janganlah engkau mengolok-olokkan aku." Aku menjawab, "Aku tidak mengolok-olokkan kamu." Maka diambilnya semua yang saya sebutkan itu dan tidak ditinggalkan seekor pun daripadanya. "Ya Allah, jika saya berbuat itu karena mengharapkan keridhaan-Mu maka bebaskanlah kami dari kesempitan ini." Tiba-tiba batu itupun bergeser lagi sehingga mereka dapat keluar dengan selamat."
(Bukhari – Muslim)

Dari kisah di atas ada tiga point penting yang ditekankan oleh Rasulallah Saw. Serta menjadi sebab terkabulnya do'a-do'a apabila wujud dalam kehidupan kaum muslimin
Pertama, Mu'assyarah;
"Ya Allah, dahulu saya mempunyai ayah dan ibu dan sudah menjadi kebiasaanku tidak memberi minuman susu kepada seorangpun sebelum keduanya (ayah dan ibu), baik kepada keluargaku atau kepada hamba sahaya. Maka pada suatu hari saya agak jauh menggembala ternak sehingga saya terlambat tidak kembali kepada keduanya hingga malam hari dan ketika itu ayah bundaku telah tidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya dan saya segan untuk membangunkan keduanya tetapi saya pun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapapun sebelum ayah bundaku. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar lalu bangunlah keduanya dan minum susu yang saya perahkan itu. Padahal malam itu anak-anakku juga menangis meminta susu itu di dekat kakiku. Ya Allah, jika saya lakukan itu benar-benar karena mengharapkan keridhaan-Mu maka lepaskanlah kami dari kesulitan ini.
-Lelaki ini telah mendahulukan berbakti kepada kedua orang tuanya dari pada anak dan istrinya, betapa banyak anak yang tidak berbuat baik kepada kedua orang tuanya bahkan mensia-siakan mereka, menelantarkan mereka, lebih memihak istrinya dari pada orang tuanya. Anak harus berbakti pada orang tua selagi tidak untuk berbuat maksiat karena ridha Allah Swt terletak pada keridhaan orang tua. Agama islam mengajarkan untuk menghormati kedua orang tua walaupun mereka berlainan agama dengan agama yang kita anut (kafir), tidak membentaknya atau mengatakan kalimat “Ah” kepada mereka. Inilah mu'asyarah yang terlupakan, Betapa agungnya ajaran agama ini!.

Kedua, Akhlaq yang mulia;
"Ya Allah, dahulu saya pernah jatuh cinta pada anak gadis pamanku. Karena cinta kasihku saya selalu merayu dan ingin berzina dengannya tetapi ia selalu menolak hingga terjadilah pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku. Maka saya berikan padanya uang seratus dua puluh dinar dengan janji bahwa ia akan menyerahkan keperawanannya kepadaku malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya tiba-tiba ia berkata, "Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal.

Pergaulan antara laki-laki dan perempuan telah diatur dalam agama islam dengan sangat terperinci, pergaulan antara suami dan istri, pergaulan antara muhrim deng muhrim, pergaulan antara muhrim dengan non-muhrim. Dengan aturan ini maka akan menciptakan masyarakat madani yang beradab serta menjadi sebuah keseimbangan dalam kehidupan yang asri dan damai. Sebaliknya kalau dilanggar batas-batas pergaulan ini maka akan timbul kerusakan yang sangat parah dalam masyarakat. contohnya masyarakat barat yang telah membebaskan pergaulan antara laki-laki dan perempuan hingga tanpa batas, sex bebas dsb, dengan dalih kebebasan expressi individu, apa hasilnya? kita telah menjadi saksi sejarah kebobrokan mereka walau dalam kaca mata kita mereka adalah bangsa yang maju dan modern,
Rasulallah Saw telah berpesan "Takutlah kamu kepada Allah atas perkara wanita, karena awal bencana atau fitnah bangsa israil adalah dikarnakan oleh wanita"

Ketiga, mu'ammalah yang benar;
"Ya Allah, saya dahulu menjadi majikan yang mempunyai banyak buruh dan pegawai. Pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu lalu segera pergi dan meninggalkan upahnya terus pulang ke rumahnya dan tidak kembali. Maka saya perniagakan upah itu hingga bertambah dan berbuah menjadi harta kekayaan yang banyak. Kemudian setelah berselang waktu cukup lama, buruh itu datang kembali dan berkata, "Hai hamba Allah berikan kepadaku upahku yang dahulu itu."Aku menjawab, "Semua kekayaan di depanmu yang berupa unta, lembu, kambing dan budak penggembalanya itu adalah upahmu." Orang itu berkata, "Hai hamba Allah, janganlah engkau mengolok-olokkan aku." Aku menjawab, "Aku tidak mengolok-olokkan kamu." Maka diambilnya semua yang saya sebutkan itu dan tidak ditinggalkan seekor pun daripadanya"

Dia adalah seorang yang jujur dan sangat menjaga amanah. Tidak memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Mari kita menilai bangsa ini betapa selama ini kita tidak menghiraukan ajaran agama yang agung ini, korupsi, penipuan dan sebaginya sudah menjadi sebuah merek untuk bangsa Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama islam, telah menjadi salah satu bagian dari Negara yang korup di kaca mata internasional, mengapa ini terjadi? Kita cari jawabannya di hati kita masing-masing.!

Kalau dibandingkan masa sekarang dengan zamanya rasulallah saw atau sahabat R.a dari segi ibadah dan ilmu jauh lebih baik masa sekarang ini, mari kita renungkan sekarang ini berapa banyak jumlah umat islam dibandingkan dengan jumlah sahabat, pada musim haji zaman ini berkumpul di padang Arafah kurang lebih lima juta ummat islam untuk menunaikan ibadah haji, di masa nabi saw hanya ada satu sekolah, di Makkah yaitu rumahnya Al arqam bin Abi Al arqam R.a sedangkan di Madinah masjid Nabawi yang menjadi pusat ilmu masa itu. Kita bandingkan sekarang berapa banyak sekolah-sekolah agama, pondok pesantren majlis taklim, pondok tahfidz. Tetapi mengapa doa'doa kita sulit terkabulkan, tidak mustajab, masalah Palestina, Iraq tidak kunjung selesai, mengapa do'a do'a mereka yang lima juta manusia berkumpul di padang arafah tidak mampu menembus hijab antara kita dengan Allah Swt? Ini karena kita telah kehilangan tiga permata di atas yaitu Mu'asyarah, mu'ammalah dan Akhlaq, tiga mutiara ini adalah hakekat agama. Sedangkan ibadah yang kita kerjakan selama ini adalah gambar atau bentuk agama yang kadang kosong dari tiga mutiara yang hilang dan terlupakan. Wallahu a'lam bissawab!




18 Februari, 2009

Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy

Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini.
Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktur pada lembaga Dar Al-‘Ulum di Lucknow, India. Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.
Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka. Adapun ibunda beliau Shafiyah Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an. Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu menghatamkan Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia hafal.
Maulana Muhammad Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah beliau mulai menghafal Al-Qur’an, hal ini di sebabkan pula oleh kebiasaan yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh Al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat berjama’ah separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga ‘Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu hadits pada madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”.
Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakanya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau.
Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnyapun menurun, akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, beliau menjawab, ”apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”. Dengan ijin Allah SWT, Maulana pun menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah. Tubuhnya yang kurus dan sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari Syari’at Islam.
Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, beliau baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi.
 
Maulana Muhammad Zakariya menuliskan:
Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada beliau, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya
 
Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan akhirnya beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu'. Ketawaddu'an beliau di usia mudanya menyebabkan beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya, kakak kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.
Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Ashar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami sholat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang diantara hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu justru karena ringannya”.
Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat. Dua tahun setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah dimakamkan orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin padahal pada waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul ‘Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya. Pada akhirnya, setelah mendapat ijin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.
Karena semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliaupun mendirikan Maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan pembiayaan yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun.
Beliau melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana mestinya, sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut. Tetap saja masyarakat masih belum memiliki semangat agama. Kebanyakan mereka tidak begitu berminat untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di Madrasah. Hal ini disebabkan mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama, mereka pun tidak menaruh hormat pada lulusan Madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun tidak mau mendengarkan apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa Madrasah-madrasah yang ada itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat.
Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat Mewat. Dengan ijin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakannya untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah dan dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab. Keinginannya yang besar menyebabkan beliau berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah Jama’ah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah dan menegakkan dakwah.
Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai Jama’ah dengan jumlah yang cukup besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirim ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama. Beliau sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satu jalan adalah membujuk orang-orang Mewat agar keluar dari kampung halamannya untuk memperbaiki diri dan belajar agama, serta melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta).
Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat8[8]. Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan ijin Allah melalui kerisauan seorang Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah yang membawa misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin tampak. Banyak jama’ah yang dikirim dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah pun ada yang kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim antara kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan usaha ini.
Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah, jama’ah-jama’ah banyak dibentuk dan dikirim ke pelosok jazirah. Sehingga dengan ijin Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk menjalankan usaha dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan umur yang tua renta, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika beliau menderita sakit. Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha dakwah dan tabligh.
Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah, beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Kondisi tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti nyata bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan Jama’ah untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah.
Pada tanggal 13 Juli 1944, Maulana telah siap untuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang yang hadir, “apakah besok hari Kamis?”, yang di sekelilingnya menjawab,”benar”, kemudian beliau berkata lagi, “periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Kemudian beliau turun dari dipan, berwudlu dan mengerjakan sholat Isya’ dengan berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak dzikir dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah”.
Pada pukul 24.00 beliau pingsan dan sangat gelisah, dokter segera dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu Akbar terus keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau mencari putranya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan ketika dipertemukan beliau berkata,” kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”. Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh. Seorang pengembara yang amat lelah yang mungkin tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan di ridhai-Nya. Maka masuklah kamu kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (Al-Fajr, 127-128),
Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang dalam lembar-lembar kertas surat yang di himpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang paling nyata adalah bahwa beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir atas umat Islam hari ini serta metode kerja dakwahnya yang atas ijin Allah SWT telah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang mengetahui keadaan umat, Insya Allah akan mengambil jalan dakwah ini sebagai penawar dan obat hatinya, dan akan menjadi sebab hadirnya hidayah bagi dirinya dan orang lain.
 
Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi Dakwah
 
Dakwah merupakan masalah yang paling penting dalam mengembalikan kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah sepenting yang digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam pikiran orang-orang Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa bahwa risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi terakhir umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui kapan berakhirnya. Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat tentang penyakit umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat sendiri. Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban manusia.
Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk mencapai puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap individu pendakwah yang mengerti kondisi umat Islam saat ini. Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang dalam riwayat banyak dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah SWT, sehingga Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan kehidupan yang tidak hanya berdimensi ibadah semata melainkan mencakup semua bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Pada awal perkembangannya yang sedemikian terbatas, Islam mampu menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan Romawi dan Persi serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan dunia. Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki Maulana agar dapat terwujud kembali di kalangan umat Islam. Maulana menghabiskan masa hidupnya untuk berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang mengaku sebagai umat Islam mempunyai kewajiban dakwah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis:
Aku ingin agar pikiran, hari, kekuatan dan waktuku hanya aku gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja selain dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi saw bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot dan hina serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas kekufuran11[11].
 
Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat inilah yang menyebabkan beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak orang taat kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Melalui segala macam usaha yang dilakukan oleh beliau dengan pikiran dan kerisauan akhirnya terbentuklah jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali ajaran Nabi Muhammad saw kepada umatnya.
Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf nahi munkar) semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya kebodohan pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan berbuat kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka menuju jalan yang benar adalah tanggung jawab semua orang Islam. Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya menegaskan:
Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh tertinggal di belakang, setelah sebelumnya berada di barisan paling depan. Banyak sebab yang menjadikan kaum muslimin dalam kondisi seperti ini, di antara sebab terpenting adalah ditinggalkannya kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan persepsi umat dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami bahwa dakwah adalah kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau’idzhoh saja. Sementara itu, sebagian dari mereka ada yang memahami dakwah ini merupakan kewajiban yang berlaku atas setiap individu muslim, namun mereka melakukannya tanpa disertai pemahan yang baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan rambu-rambu Al-Qur’an.
 
Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah memikirkan keadaan ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan kerisauannya akan kondisi umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan hidupnya untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah yang dikirim ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh beliau. Dengan tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan kewajiban dakwah pada umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar semua dapat melaksanakan jalan dakwah ini.
Membangun tradisi dakwah diantara kondisi umat yang jauh dari agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam keadaan yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat agama. Beliau sangat menyadari bahwa Rasulullah bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri, beliau selalu memikirkan umatnya, merisaukan keadaan umatnya di kemudian hari. Sehingga dalam riwayat di beritakan bahwa ketika ajal beliau datang, dengan terbata-bata masih menyebut umatnya. Pikiran itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa dakwah hari ini adalah bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan Allah dan Rasulnya.
Berdasarkan pengalaman dan pemikiran yang panjang, Maulana melihat bahwa para petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat meluangkan waktunya untuk belajar agama, sedangkan mereka masih berada di tengah-tengah lingkungan dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu yang pendek yang dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka dapat memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang dapat mengubah cara hidup mereka. Sesungguhnya tidak mungkin meminta mereka semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan bahwa hanya dengan sekedar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan mereka dari cara-cara jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam perangai, tradisi, maupun pola pikir.
Peran Maulana Muhammad Ilyas dalam menggerakkan masyarakat Mewat yang jahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana agama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang diperlukan guna menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun dibentuk untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri dalam suasana agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk menyebarkan dan mensuasanakan agama.
Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah menyinari hati manusia, Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar menyiapkan jama’ah untuk dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla merupakan pusat ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka berkeberatan untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu adalah orang-orang yang bodoh, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan. Jama’ah ini bertolak dari Delhi menuju ke Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang menyenangkan.
Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan bertambahnya semangat beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan masyarakat. Daerah-daerah lain pun mulai dipikirkannya. Gerak jama’ah sangat penting artinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah serupa ke berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur, kemudian mengadakan ijtima’ (berkumpul bersama) di Chatora hingga terbentuk jama’ah lagi hingga dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah sekitarnya. Begitulah perkembangan yang terjadi di daerah Mewat dan sekitarnya.
Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satunya jalan keluar adalah membujuk orang-orang Mewat supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk lebih mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal (harta). Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi yang benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka untuk keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan diri, harta dan waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahwa segala sesuatu yang diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.
Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah. Bahkan perubahan tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat menjadi tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan berbuah di tempat tersebut1. Perkembangan yang terjadi di Mewat adalah perkembangan yang mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi jahiliyah kini telah berubah menjadi pusat dakwah dan siar agama. Usaha Maulana Muhammad Ilyas yang pertama adalah menanamkan iman dan keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Kemudian beliau menyampaikan keutamaan-keutamaan beramal dan kerugian meninggalkannya serta mengajak umat Islam untuk berkorban menyisihkan diri, harta dan waktunya di jalan Allah.
Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan perhatiannya pada usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha dakwah ini berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di beberapa berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah. Mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajak manusia kembali kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang sudah seharusnya mengabdi dengan segenap jiwa dan raga serta sebagai umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang mempunyai tugas dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.

Sejarah Oksidentalisme


Istilah oksidentalisme dipopulerkan oleh Dr. Hasan hanafi seorang pemikir dari Mesir dan juga penulis al yasar al Islam - islam kiri, Oksidentalisme adalah kebalikan (antonim) dari istilah oreantalisme yang dalam pengertian umum, orientalisme adalah suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Timur.
Yang disebut Timur meliputi kawasan yang luas, termasuk Timur Jauh (negara-negara Asia yang jauh dari Eropa, seperti Jepang dan Cina), Timur Dekat (negara-negara Asia yang dekat dengan Benua Eropa, seperti Turki), dan Timur Tengah (negara-negara Asia yang terletak di antara keduanya, seperti negara-negara Arab).
Setelah menjabarkan pengertian Oreantalisme, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian secara umum oksidentalisme adalah kajian kebaratan atau suatu kajian komprehensif dengan meneliti dan merangkum semua aspek kehidupan masyarakat Barat. Dalam oksidentalisme, posisi subjek objek menjadi terbalik. Timur sebagai subjek pengkaji dan Barat sebagai objek kajian.
Walau istilah oksidentalisme adalah antonim dari Oreantalisme, tapi di sini ada perbedaan lain, oksidentalisme tidak memiliki tujuan hegemoni dan dominasi sebagaimana orientalisme. Tetapi, para oksidentalis hanya ingin merebut kembali ego Timur yang telah dibentuk dan direbut Barat.
Latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme
Berbicara tentang latar belakang dan sejarah munculnya oksidentalisme tidak bisa kita lewatkan begitu saja sejarah kecemerlangan peradaban islam dan masa kegelapan peradaban dunia barat. Sejarah telah mencatat era kecemerlangan dunia timur khususnya peradaban islam, bahkan peradaban keilmuan barat berhutang budi dengan peradaban keilmuan islam. Dan ini tidak bisa dipungkiri lagi, Kita ingat masa-masa kegelapan dunia barat sebelum masa kebangkitan, doktrin gereja sangat mendominasi dan mengekang kebebasan mereka dalam bertindak bahkan dalam berpikir, semuanya harus sejalan dengan ajaran gereja yang menjadikan bangsa barat terbelakang dari peradaban lainya. Peradaban islam waktu itu sangat bertolak belakang dengan peradaban barat, peradaban islam sangat mencolok dan maju pesat bak anak panah, universalnya islam telah mengubah bangsa timur dari bangsa yang terbelakang dan primitif menjadi bangsa yang maju baik dari segi agama, pemerintahan-politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Keadaan ini membuat para pemikir dan cendikiawan barat (bisa disebut oreantalis masa awal) yang sudah bosan dengan doktrin gereja yang kadang tidak sesuai dengan nalar telah terinspirasi serta melirik peradaban islam dan mempelajarinya, mereka hijrah ke wilayah kekuasaan islam dan belajar dari ilmuan-ilmuan islam, maka lambat laun setidaknya dalam beberapa pereode telah merubah wajah barat dari kungkungan kegelapan.
Ketika bangsa Barat mulai bangkit dari keterbelakangan mereka (renaissance), setelah belajar dari dunia timur khususnya peradaban islam, dunia islam mulai keropos, sedikit demi sedikit dan terus terpuruk disebabkan pemimpin-pemimpin islam yang lemah, setelah peradaban islam dihancur-ludeskan oleh pasukan Tartar (bangsa Mongol). Maka barat semakin menunjukkan jayanya dan terus berkembang hingga abad ini. Dari sini muncul tokoh-tokoh oreantalis (pengkaji peradaban ketimuran) yang dengan seiring perjalanan waktu telah berubah menjadi suatu kajian yang bukan hanya mempelajari keilmuan peradaban timur tapi semua yang terkait dengan ketimuran termasuk bagaimana cara menguasai dunia timur (islam) dan penjajahan.

Dalam sejumlah karya orientalis, yang lebih banyak ditonjolkan ialah unggulnya orang-orang Barat serta mengerdilnya segala yang terkait dengan Timur khususnya islam. Mereka senantiasa mengemukakan orang-orang Timur tidak berbudaya, bodoh, keras, kasar, dan tidak punya potensi, untuk membuktikan ini para oreantalis telah mendistorsi sejarah dan mengagungkan kemajuan peradaban mereka serta menghilangkan jejak bahwa mereka pernah belajar dari Timur (islam). Misalnya mereka (oreantalis) telah membaratkan nama seorang tokoh ilmuan islam seperti Ibnu Sina menjadi Avecina, Ibnu Rusd menjadi Averos dan sebagainya.
Atas dasar itu, muncul kesadaran baru di dunia Timur (pemikir dan pembaharu islam) bahwa selama ini mereka dibodohi kajian-kajian ketimuran (orientalisme) itu. Lahirlah apa yang disebut kajian kebaratan atau yang dikenal dengan istilah oksidentalisme. Menurut hemat penulis kajian ini adalah upaya untuk menandingi oreantalisme dan merebut kembali ego Timur yang telah direbut oleh Barat.
Tokoh-tokoh oksidentalisme
Dalam kajian ini penulis akan sebutkan beberapa tokoh oksidentalisme yang mayoritas mereka adalah pemikir dan tokoh pembaharu islam
1. Jamaluddin al-Afghani.,
Jamaluddin Al-Afghani adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik Islam. Kebesaran dan kiprahnya membahana hingga ke seluruh penjuru dunia. Sepak terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan revolusionernya yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari oleh pemerintahan kolonial ketika itu, Inggris. Tapi, komitmen dan konsistennya yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat Al-Afghani tak pernah kenal lelah apalagi menyerah.
2. Dr. Muhammad Abduh.,
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir didesa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Dan beliau wafat pada tahun 1905 M.
3. Sheikh Muhammad Rasyid Ridha.,
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.
4. Dr. Muhammad Imarah.,
Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir, seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer.
5. Dr. Hasan Hanafi.,
Dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
6. Nurcholish Madjid.M.A.,
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
7. Adian Husaini, M.A.,
Lahir Bojonegoro, 17 Desember 1965 adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh oksidentalisme lain yang penulis tidak sebutkan di sini, karna nanti akan membuat tulisan ini terlalu panjang dan membosankan pembaca.
Motif di balik kajian oksidentalisme
Sebagaimana kita singgung di atas bahwa kajian oksidentalisme adalah kebalikan dari kajian oreantalisme, upaya untuk menanggulangi oreantalisme, Merebut kembali ego timur yang direbut oleh barat dan selama ini barat dipandang sangat mendominasi dalam kajian ketimuran khususnya kajian ke-islaman. Bahkan, di era kolonial, orientalisme dianggap sebagai senjata untuk menundukan bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang membangkitkan kekesalan Edward Said dengan menulis buku “orientalism” . Dia mengkritik bahwa kajian barat atas timur kurang lebih bertujuan politis ketimbang ilmiah.
Dalam pemikiran dunia timur, “karena trauma sejarah akibat kolonialisme”, ada suatu perasaan curiga terhadap kajian-kajian oreantalisme bahwa kajian yang mereka lakukan memiliki motif-motif terselubung, bahkan, terkesan mengerdilkan semua yang berbau timur, walaupun ada beberapa oreantalis yang objektif dalam mengkaji ketimuran.
Adanya perasangka atau tuduhan klise dari dunia timur yang tidak mendasar, seperti : Kebudayaan barat yang dekaden, individualistik dan Amoral.
Namun disisi lain dunia timur dibuat terpesona dengan kemajuan peradaban barat yang tiada henti serta anggapan timur bahwa mengadopsi kebudayaan barat adalah modernitas atau life styile
Dengan semangat oksidentalisme diharapkan dapat membantu atau menjembatani kebuntuan tersebut. Terpenting, motif di balik kajian oksidentalisme adalah untuk mempelajari akar kemajuan bangsa-bangsa barat, memfilternya dan menerapkanya di dunia timur hingga timur keluar dari keterbelakangannya. Selain itu Oksidentalisme diharapkan mampu menghilangkan kecurigaan yang tidak mendasar terhadap barat yang terus mengendap dipikiran orang timur.

Dampak positif dan negatif yang ditimbulkan akibat oksidentalisme
Berbicara plus dan minus akibat kajian oksidentalisme sama halnya dengan membicarakan peperangan antara kebaikan dan keburukan artinya, sudah menjadi sunnatullah di dunia ini sesuatu yang dianggap sempurna akan nampak kekurangannya, dalam kajian oksidentalisme ada kebaikan yang bisa diambil dan ada juga keburukan yang muncul.
Menurut penulis dampak positif dan negatif akibat oksidentalisme tergantung pada pribadi oksidentalis itu sendiri. Seorang oksidentalis yang benar menurut penulis, ialah yang tidak terlalu terpengarah dengan kemajuan peradaban barat dan lantas mengadopsi apa saja yang yang diproduksi oleh barat, boleh mengambil dan meniru barat tetapi harus memfilternya dengan landasan islam dan iman. karena kalau tidak, akan menimbulkan semacam racun dalam masarakat timur khususnya ummat islam.
Islam yang universal, mengajarkan libralisme dalam berfikir, memfungsikan akal sebagai anugerah fitrah tetapi dibatasi oleh dua pokok pondasi dasar yaitu Al-qur'an dan Assunnah, seagaimana ungkapan yang sering kita dengar “ kamu punya kebebasan tetapi kebebasanmu dibatasi oleh kebebasan orang lain”, bersebrangan dengan libralisme yang didengung-dengungkan dan dianut oleh barat, yaitu libralisme tanpa batas, dan ini danger!!.
Dari berbagai sumber




27 Oktober, 2008

Kajian Kritis Ilmu Hadits

Kajian Kritis Ilmu Hadits Bag I
Oleh: Herisuanto Mahfudz

Muqadimah

Allah swt mengutus nabi Muhammad saw. Kepada umat manusia adalah sebagai seorang penunjuk hidayah, pembawa kabar gembira dan juga peringatan, maka mengikuti ajarannya dalam segala aspek kehidupan adalah tanda keimanan pada diri seseorang.
Tidak ada keselamatan bagi sesiapapun di atas dunia ini dan akherat kelak melainkan mentaati perintah Allah swt dan rasulallah saw dengan cara berpegang teguh dengan Al-Qura'an sumber utama pengambilan syariat islam serta hadits (sunnah) nabi Muhammad saw, sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur'an, Kedua sumber syariat islam ini adalah semata-mata wahyu dari Allah swt.
Karena itu maka umat islam dari zaman ke zaman sangat memperhatikan kedua pokok sumber syariat islam ini terutama hadits (sunnah) nabi Muhammad saw. Karena Ia adalah pensyarah alqur'an, penjelas dari kemujmalan ayat- ayat Al-Qur'an dan sebagainya.
Perhatian ummat islam yang sangat besar terhadap sunnah nabi saw. telah melahirkan suatu disiplin ilmu pengambilan hadits dan periwayatannya serta meletakkan syarat-syarat yang ketat untuk orang yang meriwayatkannya, sehingga tidak bercampur antara hadits nabi saw. dan yang bukan hadits.
Di tulisan ini penulis berusaha untuk mengkaji beberapa point yang berkenaan dengan ilmu hadits:

a. Definisi sunnah
b. Posisi sunnah pe-periode
c. konsep al-jarhu wa al-ta'dil
d. Subyektifitas konsep al-jarhu wa al-ta'dil.

A. Definisi Sunnah

Definisi sunnah nabi secara etimologi mengandung beberapa arti :
1.jalan dan petunjuk (baik dan buruk)
2.Jalan yang baik dan lurus
3.Adat kebiasaan dan jalan yang diikuti

Definisi sunnah secara istilah
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menta'rifkan Assunnah. Perbedaan pendapat tersebut di sebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing.

a. Ta'rif assunnah menurut ulama hadits :
Mazhab Jumhur :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw. dalam waktu bangun dan tidurnya saw, begitu juga jalan hidupnya sebelum masa kenabian dan setelahnya sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat R.a dan tabiin baik perkataan atau perbuatan”.


Mazhab lain :
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad saw baik perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw di bangun dan tidurnya, jalan hidupnya sebelum diangkat menjadi rasul atau sesudahnya”.

b. Ta'rif assunnah menurut ulama fiqih :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw yang bukan fardhu dan juga bukan wajib dan juga masuk di dalamnya hukum yang lima menurut jumhur ulama”.

c. Ta'rif assunnah menurut ulama usul :
“Ialah sesuatu yang dinuqilkan dari nabi Muhammad saw baik perkataan , perbuatan, pernyataan (taqrir)”.

B. Posisi Assunnah pe-periode

a. Masa Nabi

Periode Periwayatan Dengan Lisan

1. Larangan menulis hadits
Pada masa Rasulallah saw masih hidup sunnah atau Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan perhatiannya terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengabadikanya di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Sedangkan Hadits tidak diabadikan dalam tulisan sebagaimana ayat-ayat Al-Qur'an tetapi diriwayatkan dengan lisan. Rasulallah saw. telah melarang untuk menulis sesuatu selain Al-Qur'an sebagaimana sabdanya :

“Jangan kamu tulis sesuatu yang kamu telah terima dariku selain Alqur'an, barang siapa yang menuliskan yang ia terima dariku selain alqur'an hendaklah ia hapus, ceritakan saja yang kamu dengar terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka” (Riwayat Muslim).

Larangan Penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam Al-Qur'an, lebih-lebih generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunya wahyu) tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah Al-Qur'an semuanya, sehingga bercampur aduk antara Al-Qur'an dengan Hadits.

2. perintah menulis hadits

Disamping Rasulallah saw. melarang menulis hadits beliau juga memerintahkan beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah kembali dikuasai oleh Nabi Muhammad saw. beliau berdiri berpidato dihadapan manusia, di waktu beliau berpidato tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan berkata : “Ya Rasulallah tulislahlah untukku!” Jawab Rasul “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya”
Selain hadits di atas sejarah juga mencatatat adanya beberapa naskah tulisan yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat.


=>> Para sahabat yang mempunyai naskah hadits antara lain :

a. 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash r.a. (7 sebelum Hijrah-65 Hijrah)
Adalah seorang sahabat yang selalu menuliskan apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw tindakan ini pernah ditegur oleh beberapa orang Qurays ujarnya “ Kautuliskan semua apa-apa yang kamu dengar dari nabi? Sedangkan nabi itu manusia biasa yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan suka dan kadang-kadang berbicara dalam keadaan duka?” atas teguran tersebut ia segera menanyakan tindakannya itu pada Rasulallah saw.
Jawab Nabi saw. :
“ Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari padanya selain hak”(Riwayat Abu Daud).

b.Jabir bin 'Abdullah Al-Anshary r.a. (16 H.-73 H.).
naskah jabir 'Abdullah Al-Anshary dinamai “Shafiah jabir”.

Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain, bukanlah nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

=> Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal islam untuk menjaga agar Alqur'an tidak bercampur dengan hadits. Tetapi setelaj jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan telah banyak mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulis Hadits di-nasakh-kan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh.

=> Bahwa larangan menulis Hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlaian tulis menulis hingga terjaga dari kekeliruan dari menulisnya.

=> Bahwa larangan menulis hadits ditunjukkan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya dari pada menulisnya, sedangkan izin menulis hadis ditujukan kepada orang yang tidak kuat hapalannya seperti Abu Syah.

b. Masa al-khulafa ar-rasyida

Pada masa ini perkembangan Hadits tidak begitu pesat, terutama pada masa kekhalifahan Abu Bakr r.a. dan Umar bin Khatab r.a., hal ini karena anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran Al-Qur'an, bahkan dalam rangka menyukseskan penyebaran Alqur'an ini Umar bin Khatab r.a mengadakan larangan memperbanyak riwayat Hadits. Kebijaksanaan kedua khalifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu itu belum seluruhnya mengenal Al-Qur'an sebagi dasar syari'at yang pertama.
Saat Usman bin 'Affan r.a menjadi khalifah adalah merupakan saat terpenting bagi perkembangan Hadits, para sahabat kecil dan tabi'in mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan Hadits Rasulallah saw. dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang dan tempat tinggalnya sudah berpencar di berbagi pelosok kekuasaan islam waktu itu.
Sejak berakhirnya pemerintah khalifah Usman r.a (40 H.) dan pada awal berdirinya khalifah 'Ali bin Abi Thalib r.a mulai timbul hadits-hadits palsu (maudlu').

c. Menulis dan membukukan hadits secara resmi (abad ke II. H.)

Perintis dan sejarah (motif) membukukan Hadits

Setelah agama islam tersebar dan dipeluk oleh masyarakat luas bahkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang meninggal dunia, maka keadaan seperti ini telah menggerakkan hati khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99.-101.H.) - seorang khalifah bani 'Umaiyah untuk menulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadist.

Motif utama khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berinisiatif untuk menulis dan membukukan Al-Hadits:

=> Kekhawatiran beliau akan hilang dan lenyapnya Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan Hadits.

=> Keinginan beliau untuk memelihara dan membersihkan Hadits dari Hadits-Hadits Maudlu' yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya, atau sekte tertentu atau untuk mempertahankan mazhabnya. Ini mulai muncul sejak awal berdirinya kekhalifahan 'Ali bin 'Abi Thalib r.a

=> Kekhawatiran akan bercampurnya ayat-ayat Al-Qur'an dengan Al-Hadits sebagaimana pada zaman Rasulallah saw. telah hilang disebabkan Al-Qur'an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok kekuasaan islam serta telah dihafal oleh beribu-ribu umat islam.

=> Terjadinya perang antara kaum muslimin dengan orang-orang Kafir, serta perang saudara orang -orang Muslim semakin menjadi-jadi, maka berakibat berkurangnya ulama-ulama Hadits.

Khalifah 'Umar bin 'Abdul Aziz telah mengintruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama yang yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaanya untuk mengumpulkan Hadits-hadits Nabi saw. Misalnya, beliau meginstruksikan kepada Wali Kota Madinah, Abu Bakr bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm dan seorang tabi'iy wanita 'Amrah binti 'Abdurrahman.
Beliau juga menginstruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhry seoraang imam dan ulama Besar di Hijaz dan Syam, beliau mengumpulkan hadits-hadits dan ditulisnya pada lembaran-lembaran dan dikirimnya kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah masing-masing satu lembar, itulah sebabnya para ahli sejarah dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah-lah orang yang mendewankan Hadits secara resmi atas perintah khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz.

d. Metodologi ulama dalam menyeleksi Hadits

I. Metode penyeleksian Hadits pra-kodifikasi

a. Membandingkan matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.
Sebagai contoh 'Aisyah pernah mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut ‘Aisyah hadits tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an.


b. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.
Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.


c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.

d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.

e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.

II. Metode penyeleksian Hadits pasca kodifikasi.

a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakukan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik.

b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna.

Abad ke 3 dari Hijriyah adalah masa perang ideologi antar sekte dan golongan, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keorsinilan Hadits-hadits Nabi saw, karena setiap sekte atau golongan demi untuk mempertahankan mazhabnya telah membuat Hadits-hadits palsu hingga mazhabnya tetap unggul dan eksis. Maka mulailah tersebar Hadits-hadits maudlu', keadaan seperti ini bila dibiarkan tentu akan berakibat fatal terhadap kemurnian syariat islam.
Penulis akan coba paparkan di antara sebab-sebab timbulnya hadits-hadits palsu:

1. At-Ta'asyub As-Siyasii (Fanatisme Politik); dengan sebab ini mereka berani menafsirkan Al-qur'an keluar dari makna yang asli hanya sekedar untuk menguatkan golongan mereka masing-masing, dan juga membuat suatu hadits dengan sanad yang masyhur yang sebenarnya itu bukanlah haqiqi, seperti kelompok Ar-Rafidhah yang banyak melakukan kebohongan dalam hadits untuk membela Ahlul bait karena kebanyakan mereka dari fars yang bergolongan syi'ah.
2. At-Ta'asyub al-'Unshurii (fanatisme golongan); yaitu seperti ketika telah terjadinya gejolak antara bani 'abbas dan bani umayah, dan dimenangkan oleh bani 'abbas, yang kemudian muncul golongan asy-syu'ubiyah dengan mengedepankan bangsa asing dan menganggap lebih dari utama dari bangsa arab, dengan cara membuat hadits palsu.
3.Az-Zindiqah adalah golongan yang tidak memiliki agama yang berusaha menghancurkan agama Islam dengan cara membuat hadits palsu dalam masalah aqidah, akhlak, serta halal dan haram.
4.Pertentangan fiqhiyah, kalamiyah, dan kefanatikan untuk menguatkan pendapat mereka dari yang lainnya. Ketidak pahaman di dalam agama sementara ia menginginkan kebaikan tetapi dengan cara yang salah.
5.Para pencerita yang sengaja bercerita untuk melemahkan hati orang awam dengan tujuan mencari kenikmatan dunia semata.

Meski sudah bertebar luasnya Hadits palsu yang disebabkan oleh golongan-golongan dengan segala macamnya, tetapi para ulama sangat selektif dalam mencari dan mahami suatu hadits; apakah ia termasuk hadits shahih, dhaif, atau palsu. Para ulama telah bangkit dan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat Hadits shahih. Sehingga bisa menyaring atau menyeleksi Hadits yang benar-benar dari Rasulallah saw atau hadits palsu.
Pada abad ke tiga Hijriyah ini juga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim).