27 Oktober, 2008

Kajian Kritis Ilmu Hadits

Kajian Kritis Ilmu Hadits Bag I
Oleh: Herisuanto Mahfudz

Muqadimah

Allah swt mengutus nabi Muhammad saw. Kepada umat manusia adalah sebagai seorang penunjuk hidayah, pembawa kabar gembira dan juga peringatan, maka mengikuti ajarannya dalam segala aspek kehidupan adalah tanda keimanan pada diri seseorang.
Tidak ada keselamatan bagi sesiapapun di atas dunia ini dan akherat kelak melainkan mentaati perintah Allah swt dan rasulallah saw dengan cara berpegang teguh dengan Al-Qura'an sumber utama pengambilan syariat islam serta hadits (sunnah) nabi Muhammad saw, sebagai sumber ke dua setelah Al-Qur'an, Kedua sumber syariat islam ini adalah semata-mata wahyu dari Allah swt.
Karena itu maka umat islam dari zaman ke zaman sangat memperhatikan kedua pokok sumber syariat islam ini terutama hadits (sunnah) nabi Muhammad saw. Karena Ia adalah pensyarah alqur'an, penjelas dari kemujmalan ayat- ayat Al-Qur'an dan sebagainya.
Perhatian ummat islam yang sangat besar terhadap sunnah nabi saw. telah melahirkan suatu disiplin ilmu pengambilan hadits dan periwayatannya serta meletakkan syarat-syarat yang ketat untuk orang yang meriwayatkannya, sehingga tidak bercampur antara hadits nabi saw. dan yang bukan hadits.
Di tulisan ini penulis berusaha untuk mengkaji beberapa point yang berkenaan dengan ilmu hadits:

a. Definisi sunnah
b. Posisi sunnah pe-periode
c. konsep al-jarhu wa al-ta'dil
d. Subyektifitas konsep al-jarhu wa al-ta'dil.

A. Definisi Sunnah

Definisi sunnah nabi secara etimologi mengandung beberapa arti :
1.jalan dan petunjuk (baik dan buruk)
2.Jalan yang baik dan lurus
3.Adat kebiasaan dan jalan yang diikuti

Definisi sunnah secara istilah
Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menta'rifkan Assunnah. Perbedaan pendapat tersebut di sebabkan karena terpengaruh oleh terbatas dan luasnya objek peninjauan mereka masing-masing.

a. Ta'rif assunnah menurut ulama hadits :
Mazhab Jumhur :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw. dalam waktu bangun dan tidurnya saw, begitu juga jalan hidupnya sebelum masa kenabian dan setelahnya sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat R.a dan tabiin baik perkataan atau perbuatan”.


Mazhab lain :
“Ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad saw baik perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir), sifat fisik atau akhlaq hingga gerak dan diamnya saw di bangun dan tidurnya, jalan hidupnya sebelum diangkat menjadi rasul atau sesudahnya”.

b. Ta'rif assunnah menurut ulama fiqih :
“ialah sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw yang bukan fardhu dan juga bukan wajib dan juga masuk di dalamnya hukum yang lima menurut jumhur ulama”.

c. Ta'rif assunnah menurut ulama usul :
“Ialah sesuatu yang dinuqilkan dari nabi Muhammad saw baik perkataan , perbuatan, pernyataan (taqrir)”.

B. Posisi Assunnah pe-periode

a. Masa Nabi

Periode Periwayatan Dengan Lisan

1. Larangan menulis hadits
Pada masa Rasulallah saw masih hidup sunnah atau Hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan perhatiannya terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan mengabadikanya di atas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Sedangkan Hadits tidak diabadikan dalam tulisan sebagaimana ayat-ayat Al-Qur'an tetapi diriwayatkan dengan lisan. Rasulallah saw. telah melarang untuk menulis sesuatu selain Al-Qur'an sebagaimana sabdanya :

“Jangan kamu tulis sesuatu yang kamu telah terima dariku selain Alqur'an, barang siapa yang menuliskan yang ia terima dariku selain alqur'an hendaklah ia hapus, ceritakan saja yang kamu dengar terima dariku, tidak mengapa. Barang siapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka” (Riwayat Muslim).

Larangan Penulisan hadits tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan hadits ke dalam Al-Qur'an, lebih-lebih generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzil (turunya wahyu) tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah Al-Qur'an semuanya, sehingga bercampur aduk antara Al-Qur'an dengan Hadits.

2. perintah menulis hadits

Disamping Rasulallah saw. melarang menulis hadits beliau juga memerintahkan beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Hadits. Misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. Menerangkan bahwa sesaat ketika kota Makkah kembali dikuasai oleh Nabi Muhammad saw. beliau berdiri berpidato dihadapan manusia, di waktu beliau berpidato tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman yang bernama Abu Syah berdiri dan berkata : “Ya Rasulallah tulislahlah untukku!” Jawab Rasul “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya”
Selain hadits di atas sejarah juga mencatatat adanya beberapa naskah tulisan yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat.


=>> Para sahabat yang mempunyai naskah hadits antara lain :

a. 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash r.a. (7 sebelum Hijrah-65 Hijrah)
Adalah seorang sahabat yang selalu menuliskan apa yang pernah didengarnya dari Nabi Muhammad saw tindakan ini pernah ditegur oleh beberapa orang Qurays ujarnya “ Kautuliskan semua apa-apa yang kamu dengar dari nabi? Sedangkan nabi itu manusia biasa yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan suka dan kadang-kadang berbicara dalam keadaan duka?” atas teguran tersebut ia segera menanyakan tindakannya itu pada Rasulallah saw.
Jawab Nabi saw. :
“ Tulislah! Demi Dzat yang nyawaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dari padanya selain hak”(Riwayat Abu Daud).

b.Jabir bin 'Abdullah Al-Anshary r.a. (16 H.-73 H.).
naskah jabir 'Abdullah Al-Anshary dinamai “Shafiah jabir”.

Nash-nash yang melarang menulis hadits di satu pihak dan yang mengizinkan di pihak lain, bukanlah nash-nash yang saling bertentangan satu sama lain, akan tetapi nash-nash itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

=> Bahwa larangan menulis hadits itu adalah terjadi di awal-awal islam untuk menjaga agar Alqur'an tidak bercampur dengan hadits. Tetapi setelaj jumlah kaum muslimin semakin bertambah dan telah banyak mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulis Hadits di-nasakh-kan dengan perintah yang membolehkannya. Dengan demikian hukum menulisnya adalah boleh.

=> Bahwa larangan menulis Hadits itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang mempunyai keahlaian tulis menulis hingga terjaga dari kekeliruan dari menulisnya.

=> Bahwa larangan menulis hadits ditunjukkan kepada orang yang lebih kuat menghafalnya dari pada menulisnya, sedangkan izin menulis hadis ditujukan kepada orang yang tidak kuat hapalannya seperti Abu Syah.

b. Masa al-khulafa ar-rasyida

Pada masa ini perkembangan Hadits tidak begitu pesat, terutama pada masa kekhalifahan Abu Bakr r.a. dan Umar bin Khatab r.a., hal ini karena anjuran beliau kepada para sahabat agar mengutamakan penyiaran Al-Qur'an, bahkan dalam rangka menyukseskan penyebaran Alqur'an ini Umar bin Khatab r.a mengadakan larangan memperbanyak riwayat Hadits. Kebijaksanaan kedua khalifah tersebut dapat dimaklumi mengingat bahwa masyarakat pada waktu itu belum seluruhnya mengenal Al-Qur'an sebagi dasar syari'at yang pertama.
Saat Usman bin 'Affan r.a menjadi khalifah adalah merupakan saat terpenting bagi perkembangan Hadits, para sahabat kecil dan tabi'in mulai menaruh perhatian serius dalam mencari dan mengumpulkan Hadits Rasulallah saw. dari para sahabat besar yang jumlahnya kian hari kian berkurang dan tempat tinggalnya sudah berpencar di berbagi pelosok kekuasaan islam waktu itu.
Sejak berakhirnya pemerintah khalifah Usman r.a (40 H.) dan pada awal berdirinya khalifah 'Ali bin Abi Thalib r.a mulai timbul hadits-hadits palsu (maudlu').

c. Menulis dan membukukan hadits secara resmi (abad ke II. H.)

Perintis dan sejarah (motif) membukukan Hadits

Setelah agama islam tersebar dan dipeluk oleh masyarakat luas bahkan oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar jazirah arab dan para sahabat mulai terpencar di beberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang meninggal dunia, maka keadaan seperti ini telah menggerakkan hati khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz (99.-101.H.) - seorang khalifah bani 'Umaiyah untuk menulis dan membukukan (mendewankan) Al-Hadist.

Motif utama khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz berinisiatif untuk menulis dan membukukan Al-Hadits:

=> Kekhawatiran beliau akan hilang dan lenyapnya Hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum didewankannya dalam dewan Hadits.

=> Keinginan beliau untuk memelihara dan membersihkan Hadits dari Hadits-Hadits Maudlu' yang dibuat oleh orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongannya, atau sekte tertentu atau untuk mempertahankan mazhabnya. Ini mulai muncul sejak awal berdirinya kekhalifahan 'Ali bin 'Abi Thalib r.a

=> Kekhawatiran akan bercampurnya ayat-ayat Al-Qur'an dengan Al-Hadits sebagaimana pada zaman Rasulallah saw. telah hilang disebabkan Al-Qur'an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata di seluruh pelosok kekuasaan islam serta telah dihafal oleh beribu-ribu umat islam.

=> Terjadinya perang antara kaum muslimin dengan orang-orang Kafir, serta perang saudara orang -orang Muslim semakin menjadi-jadi, maka berakibat berkurangnya ulama-ulama Hadits.

Khalifah 'Umar bin 'Abdul Aziz telah mengintruksikan kepada seluruh pejabat dan ulama yang yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaanya untuk mengumpulkan Hadits-hadits Nabi saw. Misalnya, beliau meginstruksikan kepada Wali Kota Madinah, Abu Bakr bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm dan seorang tabi'iy wanita 'Amrah binti 'Abdurrahman.
Beliau juga menginstruksikan kepada Ibnu Syihab Az-Zuhry seoraang imam dan ulama Besar di Hijaz dan Syam, beliau mengumpulkan hadits-hadits dan ditulisnya pada lembaran-lembaran dan dikirimnya kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah masing-masing satu lembar, itulah sebabnya para ahli sejarah dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihablah-lah orang yang mendewankan Hadits secara resmi atas perintah khalifah Umar bin 'Abdul 'Aziz.

d. Metodologi ulama dalam menyeleksi Hadits

I. Metode penyeleksian Hadits pra-kodifikasi

a. Membandingkan matan hadits dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia pernah mempertanyakan dan kemudian menolak hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah bin Qais yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya). Menurut Umar (matan) hadis tersebut, bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur'an.
Sebagai contoh 'Aisyah pernah mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang meninggal dunia akan disiksa karena ratapan tangis keluarganya. Menurut ‘Aisyah hadits tersebut tidak sejalan dengan al-Qur'an.


b. Membandingkan (matan-matan) hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan dari hafalan.
Dalam teknik ini apabila ada perbedaan antara versi tulisan dengan versi lisan, para ulama biasanya lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam yang teleh mengeceknya dari kitab ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.


c. Perbandingan antara pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.

d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa murid yang mereka terima dari satu guru.

e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.

II. Metode penyeleksian Hadits pasca kodifikasi.

a. Membandingkan matan-matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang terkait atau memiliki kedekatan susunan redaksi.
Dalam teknik ini sesungguhnya tidak lagi sekedar kritik perbandingan teks, tetapi perlu melibatkan aspek pemahaman atau pemaknaan teks. Membandingkan teks atau matan-matan hadis dengan ayat-ayat al-Qur'an dari susunan redaksi adalah kurang proposional, karena redaksi atau lafal-lafal al-Qur'an diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan matan-matan hadis hampir seluruhnya diriwayatkan menurut maknanya saja (riwayah bi al-ma’na). Namun demikian, perbandingan teks ini bukanlah hal yang mustahil dilakukan, dan analisis perbandingan matan-matan hadis dengan al-Qur'an tetap membantu proses kritik.

b. Membandingkan antara matan-matan hadis.
yaitu menghimpun matan-matan hadis. Untuk itulah penelusuran hadis-hadis (secara lengkap sanad dan matannya) kepada sumber-sumber aslinya yang dikenal dengan istilah takhrij al-hadis, Matan-matan hadis hendaknya yang memiliki kesamaan makna, dan lebih bagus lagi yang susunan redaksi atau lafalnya satu sama lain memiliki kemiripan. Ini penting karena dimungkinkan bahwa hadis-hadis itu pada mulanya bersumber dari orang yang sama, kemudian mengalamai perbedaan redaksi karena diriwayatkan oleh para periwayat berikutnya secara makna.

Abad ke 3 dari Hijriyah adalah masa perang ideologi antar sekte dan golongan, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keorsinilan Hadits-hadits Nabi saw, karena setiap sekte atau golongan demi untuk mempertahankan mazhabnya telah membuat Hadits-hadits palsu hingga mazhabnya tetap unggul dan eksis. Maka mulailah tersebar Hadits-hadits maudlu', keadaan seperti ini bila dibiarkan tentu akan berakibat fatal terhadap kemurnian syariat islam.
Penulis akan coba paparkan di antara sebab-sebab timbulnya hadits-hadits palsu:

1. At-Ta'asyub As-Siyasii (Fanatisme Politik); dengan sebab ini mereka berani menafsirkan Al-qur'an keluar dari makna yang asli hanya sekedar untuk menguatkan golongan mereka masing-masing, dan juga membuat suatu hadits dengan sanad yang masyhur yang sebenarnya itu bukanlah haqiqi, seperti kelompok Ar-Rafidhah yang banyak melakukan kebohongan dalam hadits untuk membela Ahlul bait karena kebanyakan mereka dari fars yang bergolongan syi'ah.
2. At-Ta'asyub al-'Unshurii (fanatisme golongan); yaitu seperti ketika telah terjadinya gejolak antara bani 'abbas dan bani umayah, dan dimenangkan oleh bani 'abbas, yang kemudian muncul golongan asy-syu'ubiyah dengan mengedepankan bangsa asing dan menganggap lebih dari utama dari bangsa arab, dengan cara membuat hadits palsu.
3.Az-Zindiqah adalah golongan yang tidak memiliki agama yang berusaha menghancurkan agama Islam dengan cara membuat hadits palsu dalam masalah aqidah, akhlak, serta halal dan haram.
4.Pertentangan fiqhiyah, kalamiyah, dan kefanatikan untuk menguatkan pendapat mereka dari yang lainnya. Ketidak pahaman di dalam agama sementara ia menginginkan kebaikan tetapi dengan cara yang salah.
5.Para pencerita yang sengaja bercerita untuk melemahkan hati orang awam dengan tujuan mencari kenikmatan dunia semata.

Meski sudah bertebar luasnya Hadits palsu yang disebabkan oleh golongan-golongan dengan segala macamnya, tetapi para ulama sangat selektif dalam mencari dan mahami suatu hadits; apakah ia termasuk hadits shahih, dhaif, atau palsu. Para ulama telah bangkit dan membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat Hadits shahih. Sehingga bisa menyaring atau menyeleksi Hadits yang benar-benar dari Rasulallah saw atau hadits palsu.
Pada abad ke tiga Hijriyah ini juga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim).

Kajian Kritis Ilmu Hadits Bag II


C. Konsep Al-Jarhu wa Al-Ta'dil (Mencacat dan meng-adil-kan rawi)

1. Ta'rif

Lafadh Jarh menurut muhaditsin ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilannya atau kehafalannya, men-jarh atau mentarjih seorang rawi berarti menyifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau kecacatannya sehingga tertolak apa yang diriwayatkannya. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat menjaga sifat-sifat atu akhlaknya dari menodai agama. Memberikan sifat-sifat terpuji kepada seorang rawi hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima.
2. Faedah Ilmu Jarh wat-Ta'dil

**Ialah untuk menetapakan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali.**

=>> Macam-macam keaiban rawi:

1.Bid'ah (melakukan tindakan tercela atau di luar syariat)
2.Mukhalafah (Melaini dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)
3.Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatannya)
4.Jahalatul Hal (tidak dikenali identitasnya)
5.Da'wa'l-inqitha' (diduga keras sanadnya tidak bersambung)


=>> Jalan-jalan untuk mengetahui keadilan seorang rawi atau kecacatannya

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:

Pertama, dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa ia dikenal sebagai orang yang adil.

Kedua, dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah) yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang-orang yang adil yang semula rawi yang dita'dilkan belum dikenal sebagi rawi yang adil.

Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditentukan dengan dua jalan sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya.

Kedua, berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat (menurut ulama Muhadditsin) sedang menurut para fuqaha' sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

=>> Syarat-syarat bagi orang yang menta'dilkan dan men-tajrihkan:

1.Berilmu pengetahuan
2.Taqwa
3.Wara' (orang yang selalu menjauhiperbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat)
4.Jujur
5.Menjauhi fanatik golongan
6.Mengetahui sebab-sebab untuk menta'dilkan dan mentajrihkan.


Menta'dilkan atau mentajrihkan sesorang tanpa menyebutkan sebab-sebanya masih diperselisihkan oleh para ulama, tetapi pendapat yang banyak dianut oleh kebanyakan para muhadditsin adalah menta'dilkan seorang rawi tanpa menyebutkan sebab-sebabnya adalah diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali. Sedangkan untuk men-tajrih-kan seorang rawi tidak diterima tanpa menyebutkan atau menerangkan sebab-sebabnya.

3. Perlawanan antara jarh dan ta'dil

Dalam hal ini ada 4 pendapat ulama:

=> Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu'adilnya lebih banyak dari pada jarhnya, pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama.

=> Ta'dil harus didahulukan dari pada jarh.

=> Bila jumlah mu'adilnya lebih banyak dari pada jarihnya didahulukan ta'dil.

=> masih tetap dalam keta'arudlan-nya selama belum ditemukan yang merajihkannya.



4. Susunan lafadh-lafadh untuk menta'dilkan dan mentajrihkan rawi

Susunan lafadh-lafadh untuk menta'dilkan rawi
Ibnu hajar menyusunya menjadi 6 tingkatan, yaitu:

Tingkatan I
Segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawidalam keadilan dengan menggunakan lafadh-lafadhyang berbentuk af'alut-tafdil. Misalnya: أوثق الناس : Orang yang paling tsiqah

Tingkatan II
Memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat yang menunjuk keadilan dan kedhabitannya, baik sifat yang dibubuhkan itu selafadh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya: ثقة ثقة : Orang yang tsiqah (lagi) tsiqah.

Tingkatan III
Menunjuk keadilan dengan suatu lafadh yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya: ثقة : orang yang tsiqah.

Tingkatan IV
menunjuk kedhabitan dan keadilan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya: صدوق : orang yang sangat jujur

Tingkatan V
Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terpaham adanya kedhabitan, Misalnya: محله الصدق : orang yang bersetatus jujur.

Tingkatan VI
Menunjuk arti mendekati cacat atau aib dengan membubuhi kalimat “Insyaallah” atau lafadh itu ditasghirkan (pengecilan arti) atau lafadh itu dikaitkan dengan suatu pengharapan. Misalnya:
صدوق إنشاء الله : orang yang jujur insyaallah.

Susunan lafadh-lafadh untuk mentajrihkan rawi
Ada 6 tingkatan juga

Tingkatan I
Menunjukkan kepada keterlaluan rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadh-lafadh tafdhil
Misalnya: أوضع الناس : orang yang paling dusta

Tingkatan II
Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadh berbentuk sighath muballaghah.
Misalnya: كذاب : orang yang pembohong
Tingkatan III
Menunjukkan kepada tuduhan dusta, bohong dsb. Misalnya: فلان مبتهم بالكذب : orang yang dituduh bohong

Tingkatan IV
menunjukkan kepada kesangatan lemahnya. Misalnya: فلان ضعيف : orang yang lemah

Tingkatan V
Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya: فلان لا يحتج به : orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya.



Tingkatan VI
Mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil. Misalnya: فلان مقال فيه : orang yang diperbincangkan

Perlu diketahui dalam masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta'dil ini bahwa para sahabat itu tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini, karena sudah disepakati oleh jumhur ulama bahwa semua sahabat adalah dipandang adil, karena itu semua periwayatan mereka dapat diterima.
Apabila kita temukan sebagaian ahli jarh dan ta'dil menjarhkan seorang rawi, maka kita tidak perlu segera menerima pentarjihan tersebut, tetapi hendaklah kita selidiki terlebih dahulu.

Penutup
Bagaimanapun segala paparan di atas harus dikaji ulang terutama historis kodifikasi Hadits dari zaman ke zaman, sehingga mampu untuk menyingkap tabir-tabir yang menghalangi fakta kemurnian hadits dan menyingkirkan syubhat-syubhat yang sengaja dibuat oleh orang -orang yang ingin menghancurkan islam,sesuatu yang kita klaim sebuah kebenaran belum tentu itu kebenaran yang senantiasa benar dari generasi ke generasi, boleh jadi sebuah historis yang kita anggap fakta ternyata dimanipulasi oleh sebuah ideologi politik atau golongan tertentu.

Demikianlah makalah yang singkat ini, mudah-mudahan bisa menambah wawasan kita dalam kajian metodologi ilmu hadits, untuk mendalami ilmu hadits silahkan para pembaca untuk merujuk kepada buku-buku yang berkenaan dengan tema-tema yang pemakalah tuliskan.

Sumber-sumber pengambilan dan bacaan

1.Ikhtishar Musthalahul Hadits, Drs. Fatchur Rahman, PT.Alma'arif, Bandung, Indonesia
2.Manahijul Muhadditsin, Diktat Kuliyah Universitas Al-Azhar Jurusan Usuluddin, Dr. Al-Khusu'iy Al-Khusu'iy Mohammad Al-Khusu'iy
3.Rawatu-l-Hadits wa Thabaqatihim, Dirasah wasfiyah takhliliyah, Dr. Mosthafa Mohammad Abu 'Imarah, Maktabah Iman, Giza, Cairo
4.Mausu'ah Ulumul hadits, Wazaratul Al-Auqaf Majlis a'la li su'unil Al-Islamiyah, Republik Arab Mesir, 2007.M-1428.H
5.Om Google.com

@Ditulis dengan Openoffice.org Writer 2.4 di atas sistem Linux Ubuntu 8.04 Hardy Heron-april 2008