16 Februari, 2011

Kekuasaan, Pemerintahan dan Negara Islam dalam Perspektif Ahli sunnah

Kekuasaan, Pemerintahan dan Negara Islam dalam Perspektif Ahli sunnah


I Prolog
Akhir-akhir ini, terutama setelah Era revormasi menumbangkan orde baru, banyak muncul wacana-wacana bahkan gerakan keislaman betujuan untuk membentuk sebuah negara Indonesia yang berasaskan islam, Negara berdasarkan Al-Qur'an dan As-sunnah atau disebut juga dengan khilafah islamiyah. Sebenarnya sistem khilafah islamiyah (negara islam) sudah pernah ada di bumi nusantara ini jauh sebelum bangsa ini menjadi sebuah Negara kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Sejarah mencatat bahwa kerajaan samudra Pasai yang brada di pesisir pulau Sumatera adalah kerajaan yang menganut agama Islam pertama kali, pendiri kerajaan Samudra Pasai adalah Nazimuddin alkamil seorang laksamana laut dari Mesir yang berhasil merebut pelabuhan kambayat di Gujarat, India pada tahun 1238 M. Tujuannya untuk menguasai dan memasarkan barang-barang perdagangan dari timur, kemudian Nazimuddin alkamil meluaskan kekuasaannya ke bagian utara Sumatera dengan mendirikan kerajaan Samudera Pasai yang berasaskan hukum islam.1 Maka tidak menjadi aneh jika bangsa ini senantiasa dirongrong oleh beberapa pihak yang tidak puas dengan sistem pemerintahan yang ada, Bahkan terekam dalam sejarah bangsa Indonesia telah terjadi usaha Kudeta untuk mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi negara Islam Dari prolog ringkas ini, Munculah berbagai pertanyaan di sekitar ruang lingkup khilafah islamiyah. diantaranya; Bolehkah tunduk pada pemerintahan atau pemimpin yang tidak berasaskan ajaran islam?, Apa dan Bagaimana bersikap terhadap pemerintahan yang zhalim?, Negara islam apakah sebuah pemberian yang ditakdirkan Tuhan kepada siapa yang dikehendakinya?, Bagaimana konsep Ahl al-Sunnah tentang kekuasaan dan pemerintahan islam?, Apa pengaruh Iman dan Amal kaum Muslimin terhadap penguasa dan pemerintahan?, inilah diantara beberapa pertanyaan mendasar pada tulisan ini, untuk pembahasan atas permasalahan ini kita awali dengan pengertian tentang Imamah dan Khilafah dari segi bahasa (etimologi) dan pendapat beberapa Ulama dari segi termilogi. ***
II
Imamah dan Khilafah (Pemimpin)
Secara etimologi kata imamah berarti tampil ke muka, seperti kamu berkata: kamu mengimami suatu kaum, artinya kamu maju ke depan atau berada di depan mereka. Imam adalah suatu yang diikuti oleh manusia seperti seorang pemimpin atau kepala, baik yang benar atau yang sesat. Kata “imam” disisnonimkan juga dengan kata “khalifah” yang berarti penguasa atau pemimpin tertinggi. 2
Menurut Syaikh Abu Zahra seorang ulama kontemporer di dalam diskursusnya, “Dinamakan khilafah karena ia menjadi pemimpin tertinggi yang menggantikan peran nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di dalam mengatur urusan kaum muslimin, dan dinamakan imamah karena khalifah tersebut juga sebagai seorang imam, karena mentaati seorang imam hukumnya wajib dan orang yang berjalan di belakang imam laksana mereka yang mengerjakan shalat di belakang orang yang mengimami mereka”3
Dalam kamus Lisân al-`Arab, Ibnu Manzhûr mendefinisikan “al-imâm” (=pemimpin), yang dalam kajian etimologisnya merupakan akar kata dari “al-imâmah,” sebagai orang yang diikuti oleh kaumnya dalam komunitas yang baik atau sebaliknya. 4 Begitu juga dalam al-Qamûs al-Muhîth karya Majduddîn al-Fairûz Abâdî, kata “imâm” berarti orang yang diikuti dan dipatuhi, seperti presiden, ketua dan lainnya.
Secara termenologis, menurut Ibnu Khaldûn dalam karya agungnya, al-Muqaddimah, kepemimpinan adalah sebuah tanggung-jawab besar terhadap semua permasalahan syari`at demi kebaikan akhirat (=al-mashâlih al-ukhrawiyyah) dan kebaikan dunia (=al-mashâlih al-dunyawiyyah) secara bersamaan.5 Karena pada dasarnya semua kebaikan di dunia akhirnya untuk kebaikan akhirat juga, sehingga kepemimpinan dalam Islam hakikatnya sebagai pengganti (=khalîfah) Tuhan dalam menjaga agama dan politik dunia. Dalam pengertian ini, Ibnu Khaldûn lebih cenderung menjadikan pemimpin sebagai mandataris Tuhan untuk kebaikan umat di dunia maupun di akhirat. Kata imamah tidak terdapat dalam Al-Qur'an Al-Karim, tetapi kata yang disebutkan dalam Al-Qur'an adalah kata “Imam” dan “a'immah”
kata “imam” disebutkan dalam surah Al-Baqarah:124,
إنى جاعلك للناس إماما قال ومن ذريتي قال لا ينال عهد الظلمين (البقرة: 124)
“Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia, Ibrahim berkata, 'dan saya mohon juga dari keluargaku.' Allah berfirman, 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang- orang yang zalim,'
kata “a'immah” terdapat dalam firman Allah surah Al-anbiya': 73
وجعلنهم أئمة يهدون بأمرنا (الأنبياء : 73)
“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami,”
kata imam disandangkan bagi seorang pemimpin atau penguasa kaum muslimin yang dapat diketahui berdasarkan arti etimologis dari kata imam itu sendiri, kita juga mendapatkan bahwa kata imam dan khilafah merupakan dua kata yang bersinonim.***
III
Siapakah “Ahli Sunnah wal Jama'ah?”
Kalau dikaji lebih dalam makna-makna dalam kalimat as sunnah dan makna-makna dalam kalimat al jama’ah, yang bisa dipahami dari beberapa nash syari’at, dan seperti yang diungkapkan serta dipahami oleh para salafus saleh, maka bisa diketahui siapa sebenarnya mereka?, Dan Apa sifat-sifat mereka? Dan apa manhaj mereka? Berdasarkan hal itu bisa diidentifikasi siapa sejatinya ahli sunnah wal jama’ah dengan mengkaji dari berbagai segi yang menyangkut sifat-sifat mereka, ciri-ciri mereka, manhaj mereka.
Ditinjau dari berbagai sudut pandang yang menyangkut dengan definisi, sifat-sifat, ciri-ciri serta manhaj mereka maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, mereka adalah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Merekalah ahli sunnah, yakni orang-orang yang mengajarkannya, menjaganya, mengamalkannya, mengutipnya, dan membawanya baik dalam bentuk riwayat atau dirayat atau manhaj. Jadi merekalah yang paling dahulu mengenal sekaligus mengamalkan as sunnah.
Kedua, para pengikut sahabat Rasaulullah shallallahu alaihi wa sallam. (Tabi'ien) Merekalah yang meneruskan tongkat estafet agama dari para sahabat, yang mengutip, yang mengetahui, dan yang mengamalkannya. Mereka generasi yang hidup sesudah sahabat Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat. Mereka itulah sejatinya ahli sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpegang teguh padanya, tidak membikin bid’ah macam-macam, dan tidak mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman.
Ketiga, ahli sunnah wal jama’ah, mereka adalah para salafus shaleh, yakni orang-orang yang berpegang teguh pada Al Qur’an dan as sunnah, yang konsisten mengamalkan petunjuk Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang mengikuti jejak langkah peninggalan para sahabat, para tabi’in, dan pemimpin-pemimpin pembawa petunjuk umat, yang jadi tokoh panutan dalam urusan agama.
Keempat, Ahli sunnah wal jama’ah ialah satu-satunya golongan yang berjaya dan mendapat pertolongan Allah sampai hari kiamat nanti, sesuai dengan sabda Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, “Ada segolongan dari umatku yang selalu membela kebenaran. Mereka tidak merasa terkena mudharat orang-orang yang tidak mendukung mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu..”
Kelima, mereka adalah orang-orang yang menjadi asing ketika dimana-mana banyak orang yang suka mengumbar hawa nafsu, berbagai kesesatan merajalela, bermacam-macam perbuatan bid’ah , dan zaman sudah rusak. mereka yang disebut aneh dan asing adalah yang berusaha mengamalkan sunnah-sunnah Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, Hal itu berdasarkan sabda beliau nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
“Semula Islam itu gharib (asing) dan akan kembali asing. sungguh beruntung orang-orang yang asing”.
Menurut penulis, seluruh kaum muslimin yang menyakini keesaan Allah swt dan mengikuti petunjuk Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam, yang tetap berpegang pada Al-Qur'an dan Al-Sunnah dan tidak menuruti keinginan-keinginan nafsu serta membenci hal-hal bid’ah menyesatkan (=dhalalah), mereka adalah ahli sunnah. Mereka mengikuti jejak langkah ulama-ulama mereka berdasarkan petunjuk yang benar. mereka adalah golongan yang selamat seperti yang dikabarkan oleh Beliau shallallahu alaihi wa sallam dalam beberapa hadist tentang akan terjadi perpecahan pada umatnya menjadi berbagai firqah/golongan dan hanya satu firqah yang selamat.***

IV

Kenapa dinamakan 'Ahli sunnah wal Jama'ah?”
Dinamakan ahli sunnah, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, dan sunnah khulafaurrasyidin sebagai mana disebutkan dalam sabdanya;,
عليكم بسنتى وسنة خلافاء الراشدين
“Kalian harus berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin.”
Adapun as sunnah ialah, syara’ atau agama, dan petunjuk lahir batin yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, lalu diterima oleh para tabi’in dari mereka, kemudian diikuti oleh para pemimpin umat dan ulama-ulama yang adil yang menjadi tokoh panutan, dan oleh orang-orang yang menempuh jalan mereka sampai hari kiamat nanti. Berdasarkan hal inilah maka orang yang benar-benar mengikuti as sunnah disebut sebagai ahli sunnah.
Sementara kalimat “al jama'ah” karena mereka berpegang pada pesan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk setia pada jama’ah atau kebersamaan. Mereka bersama-sama sepakat atas kebenaran, dan berpegang teguh padanya. Mereka mengikuti jejak langkah jama’ah kaum muslimin yang berpegang teguh pada as sunnah dari generasi sahabat, tabi’in, mereka bersama-sama bersatu dalam kebenaran, bersama-sama bersatu ikut pada jama’ah.
nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“tidak akan berkumpul atau sepakat Umatku dalam kesesatan”,
Hadits lainnya menyebutkan: عليكم بالجماعة
Kalian tetaplah dalam jama'ah!”
Maksudnya tidak boleh keluar dari jama'ah kaum muslimin. Ahli sunnah wal jama’ah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka terdapat banyak pada suatu kurun zaman, tetapi hanya sedikit pada kurun zaman yang lain. Tetapi yang jelas mereka selalu ada di mana dan kapan saja. Sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat tokoh-tokoh terkemuka, Pemimpin atau imam pembawa hidayah yang menjadi pelita umat dan hujjah Allah terhadap makhluk-Nya hingga hari kiamat nanti. ***

V

Di kalangan umat Islam, kepemimpinan merupakan masalah sangat urgen, di mana ia disinyalir sebagai faktor utama yang menyebabkan perpecahan umat Islam menjadi beberapa sekte dan aliran.6 Sebagaimana disinggung oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah (I/23), bahwa masalah Imâmah dalam Islam adalah masalah yang paling penting dan termasuk permasalahan umat yang paling mulia. Begitu juga ungkapan al-Syahrastânî dalam al-Milal wa al-Nihal (I/25), bahawa masalah Imâmah dalam Islam merupakan masalah yang telah banyak menimbulkan kezhaliman atau memakan korban. Imam Abu Hasan al-‘Asy`ari mengatakan dalam Maqâlât Islâmiyyîn (I/39), sesungguhnya peristiwa penting yang terjadi pertama kali setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi Wasallam. adalah perbedaan atau perselisihan para sahabat dalam masalah kepemimpinan.
Urgensi kepemimpinan dalam Islam seperti pernyataan-pernyataan di atas itulah yang kemudian menjadi sumber bencana besar (=al-fitnah al-kubrâ) dan menjadi salah satu bahasan yang urgen dalam bidang ilmu ushûl al-dîn (=akidah) khususnya dalam pandangan aliran Syi`ah. Perbedaan pola pandang terhadap kepemimpinan telah menyebabkan umat islam menjadi terpecah-pecah menjadi beberapa aliran, Penulis akan menyebutkan perspektif khilafah (kepemimpinan) menurut dua aliran besar yang masih eksis hingga saat ini yaitu aliran Syiah dan Ahl al-Sunnah.
Kepemimpinan menurut pandangan syiah
Dalam pandangan Syi`ah kedudukan pemimpin (=imam) sama dengan kedudukan Nabi secara keseluruhan, bedanya hanya karena pemimpin (=imam) tidak mendapatkan wahyu secara langsung.7 Kedudukan para Imam tersebut seperti pintu-pintu dan jalan-jalan menuju Allah swt. sebagai wasilah petunjuk bagi mereka, maka ketaatan dan ketundukan kepada para pemimpin sama dengan ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Karena imâmah menurut Syi`ah adalah tangan kanan Tuhan di muka bumi. Seorang imam adalah pemegang otoritas mutlak dalam agama. Karena eksistensi agama setelah Rasulullah tiada harus tetap diteruskan, kehadiran seorang imam sebagai pemegang otoritas menjadi penyempurna risalah kenabian Muhammad saw, bahkan sebagian dari tokoh agama meraka (Syiah) berpendapat bahwa kedudukan Imam dalam pandangan mereka tidak berbeda dengan kedudukan Nabi yang mendapatkan wahyu secara langsung dari Tuhan begitu juga dalam hal `ishmah (kesucian), sifat dan ilmunya. kadang kala kedudukan para Imam dalam Syi`ah menjadi lebih tinggi dari pada Nabi.
Kepemimpinan Menurut Pandangan Ahl al-Sunnah
Ahl al-Sunnah memandang masalah kepemimpinan umat Islam setelah nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam dipandang sebagai masalah biasa, seperti masalah-masalah furû` lainnya dalam pembahasan fiqih. Menurut mereka, seorang khalifah (=pemimpin umat) boleh dipilih dari siapa saja yang kira mampu menjalankan amanah, punya kredibilitas serta tanggung-jawab dalam menangani semua urusan umat Islam, atau singkatnya, telah memenuhi syarat-syarat menjadi pemimpin. Menurut pemahaman Ahl al-Sunnah juga, kepemimpinan setelah Rasul sepenuhnya diserahkan kepada umat dan tidak terdapat ketentuan secara khusus kepada orang perorang. yaitu lebih menekankan kebebasan (=al-hurriyyah) dalam menentukan figur kepemimpinan, tidak terkungkung oleh justifikasi teks yang kaku. kepemimpinan diserahkan sepenuhnya kepada umat dengan kriteria-kriteria pemimpin yang sesuai dengan ajaran Islam. Kepemimpinan seperti ini lebih mirip dengan konsep demokrasi dalam pandangan politik modern. Pandangan ini dimiliki oleh mayoritas shahabat R.a, oleh karenanya pandangan seperti ini juga disebut sebagai pandangan Jumhur, atau suara mayoritas. berbeda dengan Syi`ah memandang, masalah kepemimpinan termasuk permasalahan pokok agama, posisi kepemimpinan dalam pandangan mereka sama dengan kenabian, ia adalah mandataris ketuhanan, Tetapi secara umum Ahl al-sunnah sepakat dengan Syiah perihal wajibnya kepemimpinan dalam islam.***

VI

Perbedaan Antara Ahl al-Sunnah Dan Mu'tazilah serta Khawarij dalam Konsep Kekuasaan Dan Kepemimpinan
Konsep Ahl al-Sunnah tentang Kekuasaan dan kepemimpinan
Menurut Pendapat Ahl as-Sunnah sesungguhnya kepemimpinan dan kekuasaan adalah takdir yang ditentukan Allah swt kepada siapa saja yang dikehendakinya serta berada di bawah kekuasaan-Nya dan bukan bagi siapa yang berkehendak atau berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dan kepemimpinan adalah takdir yang diberikan Allah swt kepada yang dikehendakinya melalui faktor atau asbab-asbab ghaibiyah yaitu iman dan amal shaleh. disebut sebagai takdir yang ditetapkan Allah swt maksudnya bahwa perkara kekuasaan dan kepemimpinan ini sudah ditetapkan Allah swt sebelum Ia menciptakan kekuasaan-kekuasaan dan pemegang kekuasaan itu. Allah swt, sudah menetatapkan kepada siapa kekuasaan atau kekhalifahan itu akan diberikan-Nya. sebagai contoh Allah swt telah memberikan kekuasaan dan pemerintahan kepada Nabi Daud as, Nabi sulaiman as, Nabi Yusuf as, Namrud. Begitu juga Allah swt telah menetapkan Firaun menjadi penguasa Mesir dan mempunyai kekuasaan yang besar. Untuk memperkuat pendapat ini Ulama-ulama Ahl-al-sunnah memberikan dalil dari Al-qur'an;
قل اللهم ملك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعزمن تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيئ قدير (سورة آل عمران : 26 ) “Katakanlah: Wahai tuhan yang mempunyai kerajaan, engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan orang yang engkau kehendaki dan engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki, di tangan engkaulah segala kebajikan, sesunggunya engkaulah maha kuasa atas segala sesuatu (surah Ali Imran:26)” Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: Allah swt berfirman kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, “katakanlah Wahai Muhammad dengan mengagungkan Tuhanmu dan bersyukur padaNya serta bersandar dan bertakwakal padaNya”, “Engkau“wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan” (semua kerajaan dan kekuasaan adalah milik Engkau), memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”. (Engkau yang memberi dan Engkau pula yang menahan, Engkau berkehendak maka terjadi dan apabila tidak engkau kehendaki maka tidak akan terjadi).8 Imam Thabary menafsirkan ayat: تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء “(Engkau memberikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki)”. Ayat ini menegaskan bahwa kekuasaan atau pemerintahan berada di Tangan Allah swt dan bukan kepada selainNya. إنك على كل شيئ قدير " (sesunggunya engkaulah maha kuasa atas segala sesuatu)” . Maksudnya Tidak ada yang mampu mengubah takdir ini melainkan Engkau dan engkaulah penentu segalanya).9 Dengan mengetengahkan penafsiran dari dua ulama tafsir terkemuka di atas dapat dipahami bahwa kekuasaan dan pemerintahan menurut konsep Ahl al-sunnah adalah bagi orang yang ditakdirkan Allah swt untuk berkuasa dan memimpin.
Konsep Mu'tazilah dan khawarij tentang kekuasaan dan kepemimpinan
Mu.tazilah dan khawarij berpendapat bahwa kekuasaan bukanlah pemberian atau ketentuan (takdir) dari Allah swt bagi orang yang dikehendakinya, bukan juga atas pilihan dan ketentuan Allah swt. mereka berpendapat bahwa kekuasaan adalah perkara yang diusahakan (كسبي) bagi orang yang berkehendak untuk menjadi penguasa atau mencari kekuasaan, tetapi mereka berpendapat bahwa kekuasaan yang diberikan atau ditakdirkan Allah swt kepada yang dikehendakiNya sebagai mana dalam surah Ali Imran ayat 26 adalah penguasa yang adil, bukan penguasa yang zhalim, karena tidak boleh bagi Allah swt untuk memberikan atau menjadikan penguasa yang zhalim, karena Allah swt sendiri mengatakan dalam firmanNya: (لا ينال عهد الظالمين) سورة البقرة 124
“JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang lalim” (Al-Baqarah 124).
juba'iy berkata: “kekuasaan yang diberikan Allah swt kepada orang yang dikehendakiNya adalah khusus bagi penguasa/pemimpin yang adil dan bukan orang yang zhalim. tidak boleh bagi Allah memberi kekuasaan atau membuat pemimpin yang lalim, Bagaimana tidak, sedang Allah sendiri mengatakan perkara kekuasaan tidak untuk diberikan kepada orang yang zhalim. “JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang lalim” (Al-Baqarah 124).
Pendapat ini lemah. para ulama Ahl al-sunnah membantah pendapat ini dengan argumen-argumen yang lebih bisa diterima. Jika kekuasaan yang adil adalah pemberian Allah swt sedangkan kekuasaan yang zhalim bukan pemberian atau ketentuan dari Allah swt, maka pendapat ini telah menafikan sifat Allah swt yaitu Allah Maha Berkehendak, Maha Berkuasa. Berarti Allah swt tidak ikut campur dalam perkara pemerintahan atau penguasa zhalim, Allah swt tidak ikut campur dalam berdirinya kedaulatan suatu negara, Munculnya suatu negara dan hancurnya di luar perbuatan Allah swt, di luar urusanNya dan bukan takdir dari Nya. Jika demikian maka tidak bisa diterima dari sisi aqidah, pendapat Mu'tazilah di atas juga telah dibantah oleh Imam Ar-razy; Mereka Mu'tazilah telah menafikan sifat Allah swt (الصانع), dan telah berbohong/mengingkari dengan apa yang ditetapkan Allah swt bahwa Dia memberikan kekuasaan kepada orang yang dikehendakiNya dan bahwa kekuasaan itu berada di TanganNya”.
Allah swt telah menetapakan Namrud berkuasa sedangkan Ia adalah penguasa yang paling kafir dan lalim pada zamannya. musuh nabi Ibrahim as, dalam firmaNya
ألم ترى إلى الذي حاج إبراهيم فى ربه أن آتاه الله الملك" (سورة البقرة آية: 258)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang TuhaNya (Allah) Karena Allah telah memberikan kepada orang itu (Namrud) Pemerintahan”
Jelas dari ayat ini dapat dipahami bahwa kekuasaan atau pemerintahan Namrud adalah pemberian dan takdir dari Allah swt, walaupun Ia adalah penguasa yang lalim dan sombong.
imam al-Baidhawy berkata: Ayat ini sebagai hujah atas pendapat bahwa pemerintahan yang lalim atau penguasa kafir bukan pemberian atau takdir yang ditetapkan Allah swt.1
Begitu juga Allah swt berkehendak kepada Firaun untuk menjadi penguasa, Jalut dan selain keduanya menjadi penguasa lalim dan ini jauh dari usaha keduanya untuk menjadi penguasa kerajaan, akan tetapi takdir Allah swt yang menetapkan mereka berkuasa.
imam Al-qurthuby menulis dalam tafsirnya, menerangkan dan menguatkan pendapat manhaj Ahl-al-sunnah tentang konsep kekuasaan adalah pemberian/ketetapan Allah swt dengan menafsirkan ayat:
أنى يكون له الملك علينا ونحن أحق بالملك منه (سورة البقرة آية : 247)
“Mereka menjawab “Bagaimana Thalut memmerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya”
Nabi mereka berhujah dan menjawab: “ إن الله اصطفاه". “Sesungguhnya allah swt yang memilihnya”.2 Sebelum menutup pembahasan dalam bab ini penulis nukilkan perkataan Ibnu Hajr al-Asqalany yang menguatkan mazhab Ahl al-Sunnah dan membantah pendapat kaum Mu'tazilah:
Sesungguhnya kekuasaan adalah milik Allah dan pemberian Allah swt, baik yag meminta kekuasaan maupun yang tidak meminta. yang berhak maupun yang tidak berhak, yang kafir atau lalim maupun yang adil. semuanya adalah pemberian Allah swt.Sebagai contoh seperti Namrud, Firaun, Penguasa kafir dan lalim. Penguasa dari para Nabi-nabi, seperti Nabi Yusuf as, Daud as, sulaiman as, mereka adalah penguasa yang adil dan bijaksana....3
***
VII
Janji Allah swt Kepada Orang Beriman Bahwa Mereka Akan Berkuasa Di Bumi
Allah swt telah menetapkan dalam sunah kauniyahNya bahwa amalan agama yang tidak memiliki ruh hakikat atau hanya sekedar gambar/simbol tidak akan mampu menurunkan pertolongan Allah swt dan janji-janjiNya kepada umat ini. pertolonganNya dan janjiNya hanya akan diberikan kepada orang beriman yang mengamalkan perintahNya dengan sempurna yaitu setiap amalan yang dibuat memiliki ruh hakekat bukan hanya sekedar gambar atau simbol-simbol agama. 4 Allah swt berfirman:
وعد الله الذين آمنوامنكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم فى الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا (سورة النور آية :55)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang -orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mensekutukan sesuatu apapun dengan Aku”. (an-Nur:55)

Untuk mengamalkan perintah Allah swt yang hanya menghasilkan bentuk atau simbol saja tidaklah sulit, tetapi menjadi sulit dan butuh usaha yang besar apabila mengamalkan perintah tersebut untuk mencapai hakekat/ruh amalan tersebut. umat islam tidak akan sampai pada hakekat/ruh amalan tanpa memiliki hakekat kesempurnaan agama dan iman. karena agama dan iman tanpa adanya hakekat/ruh hanya akan menghasilkan gambar atau simbol. Amalan agama yang menghasilkan atau sampai pada hakekat/ruh amalan tersebut contohnya melaksanakan perintah shalat dengan khusu' dan khudu', Pembaca Al-Qur'an dan mengamalkan kandungannya, Ta'lim/tabligh yang diamalkan oleh penceramah dan pendengarnya. sebaliknya jika amalan-amalan di atas hanya sekedar dilaksanakan untuk bebas daritanggung jawab saja maka inilah disebut amalan agama yang hanya menghasilkan bentuk/simbol yang kering dari hakekat/ruh sebuah amalan. Rasulallah sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Berapa banyak orang berpuasa dan tidak mendapatkan apaun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”
Ini contoh amalan puasa yang hanya menjadi gambar atau simbol. amalan puasa yang tidak menghasilkan ruh dan hakekat amalan. Semua janji Allah swt dan pertolonganNya kepada orang beriman dalam Al-Qur'an akan menjadi kenyataan apabila mereka mempunyai hakekat iman dan amal sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. termasuk janji Allah swt kepada orang beriman akan berkuasa di atas muka bumi ini sebagaimana Allah swt telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang hidup pada abad/zaman keemasan Islam yaitu masa nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, zaman sahabat dan tabi'ien.
Bani Israil pada masa pemerintahan Aziz suami Zulaikha penguasa kerajaan Mesir waktu itu dengan bendahara kerajaannya nabi Yusuf as, Hijrahnya Bani Israil ke Mesir dikarenakan bencana kelaparan dan kemarau yang panjang, Bangsa Israil di Mesir sangat di dihormati dan dimuliakan, tetapi ketika mereka sudah tidak memiliki hakekat iman dan amal maka Allah swt lantik atas mereka penguasa lalim yaitu Firaun yang memperbudak mereka dengan kejam, anak laki-laki mereka dibunuh dan yang perempuan dibiarkan hidup, maka Allah swt mengutus nabi Musa as dan nabi Harun as untuk mengembalikan hakekat iman dan amal bani Israil. Nabi musa as berdakwah pada bani Israil dalam masa 40 hari mengusahakan atas keimanan mereka hingga akhirnya bani Israil bangkit dari ketidak berdayaanya. setelah itu Allah swt menghancurkan kekuasaan firaun dan pengikutnya dangan menenggelamkan di laut Qalzam, lautan Merah di Timur Tengah.
Sebelum kedatangan nabi Musa as mengusahakan keimanan Bani Israil, Mereka Bani Israil hanya memiliki gambar iman bukan hakekat, sedangkan Firaun memimiliki hakekat kebatilan. maka Firaun menindas dan memperbudak bani Israil.
Allah swt tidak memerintahkan nabi Musa as untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan untuk menyelamatkan bani Israil dari penindasan dan perbudakan, tetapi diutus untuk usaha atas iman dan amal bahkan diutus secara khusus untuk berdakwah kepada Firaun agar Firaun beriman kepada Allah swt. ketika Firaun menolak dan membangkang dakwah sedangkan bani Israil menerima dakwah maka Allah swt menghancurkan kekuasan Firaun dan membebaskan bangsa Israil. Dengan mencermati kisah di atas dapat dipahami bahwa untuk mendapatkan suatu pemerintahan atau pemimpin yang adil adalah dengan menyempurnakan iman bukan dengan kudeta atau mengubah suatu pemerintahan yang tidak berasakan islam menjadi pemerintahan islam (negara Islam). Kekuasaan adalah hadiah dari Allah swt setelah keimanan amalan sempurna. keadaan tidak berubah jika bukan umat sendiri yang merubahnya. firmanNya:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم و إذا أراد الله سوء فلا مرد له و ماله من دونه من وال (سورة الرعد آية 11)
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga ia mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum maka tak ada yang dapat menolaknya. dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar-ra'd : 11)
Maksud mengubah keadaan bukan dengan mengambil alih kekuasaan ketika mendapatkan pemerintahan yang zhalim, bahkan dalam keadaan mendapatkan pemerintahan yang zalimpun diperintahkan untuk bersabar dan berdo'a.5 juga diharamkan memberontak pada pemerintahan tersebut. FirmanNya:
قال موسى لقومه استعنوا بالله واصبروا إن الأرض لله يورثها من يشاء من عباده و العاقبة للمتقين (سورة الأعراف آية 128)
“Musa berkata kepada kaumnya; Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah: Dipusakakn-Nya kepada siapa yang dikehendaki- Nya.dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa (Al-A'raf : 128)
Tetapi mengubah apa yang ada pada diri kita sendiri, sesuatu yang sangat berpengaruh dengan akhlak dan perbuatan, Rasulallah shalallahu 'alaihi wasallam memberitahu dalam mafhum haditsnya:
“Sesungguh dalam jasad ada segumpal daging, apabila daging ini baik maka akan baik segala perbuatannya tetapi apabila buruk maka akan buruk semuanya, ia adalah hati”
Dunia, suasana dan keadaan akan menjadi baik apabila perbuatan manusia menjadi baik, perbuatan manusia akan baik apabila hatinya baik dan hati menjadi baik jika keyakinan dan keimanan kepada Allah swt sempurna. keyakinan dan keimanan itu letaknya di hati.
Begitulah sunatullah di dunia ini, umat islam akan kembali berkuasa dan berjaya apabila mereka memiliki hakekat iman dan amal. Penguasa atau pemerintahan yang adil adalah buah atau hasil dari kesempurnaan iman dan hakekat amalan shaleh, karena Allah swt akan melantik seorang pemimpin yang adil apabila iman dan amal tidak sekedar gambar, simbol dan nama. seorang pemimpin yang baik dan shaleh sekalipun menjadi penguasa tetapi amalan dan keyakinan umat rusak maka Allah swt akan menjadikan pemimpin yang baik tersebut menjadi pemimpin yang zhalim.***
dengan wujudnya hakekat iman dan takwa serta taat pada perintah Allah swt dan Rasulnya menjadi sebab kebangkitan umat untuk berkuasa di muka bumi ini yaitu menjadi khalifah Allah swt. Hakekat iman dan takwa yang tumbuh kembang dalam individu-individu setiap muslim akan membuahkan hasil dan pengaruh besar dalam kehidupan manusia seperti anak ayam dalam telur, ketika telah sempurna sifatnya dan bentuk tubuhnya, kemudian Allah swt meniupkan roh kedalamnya maka berubah hidup anak ayam tersebut. kemudian dengan paruhnya yang kecil Ia berusaha memecahkan cangkang telur yang mengurungnya, maka dengan usahanya ia mampu memecahkan cangkang tersebut. inilah perumpamaan hakekat iman dan amal yang tumbuh-kembang dalam pribadi seorang muslim akan mampu menghancurkan kebatilan di sekelilingnya. tetapi jika anak ayam tersebut belum sempurna sifat dan kejadiannya maka tidak akan mampu untuk menghancurkan cangkang telur yang mengelilinginya dan keluar darinya. sama seperti iman yang belum mencapai hakekat kesempurnaan tidak akan mampu mengubah keadaan umat dan menjadi penyebab turunnya pertolongan yang dijanjikan Allah swt kepada kaum muslimin.
Perang Badar menjadi saksi sejarah dengan keadaan kaum muslimin waktu itu yang hanya berjumlah sedikit dan peralatan perang mereka sangat kurang kalau dibandingkan dengan jumlah pasukan musuh dari kafir Qurays. tetapi dengan hakekat keimanan dan amalan serta ketakwaan kaum muslimin, patuh atas perintah Allah swt dan rasulnya mereka berhasil memenangkan peperang tersebut.
Sejarah islam juga telah merekam bagaimana dengan kekuatan iman yang ada pada sahabat al-Faruq Umar bin al-Khatab R.a, dengan bajunya yang penuh tambalan menerima kunci Baitul Maqdis tanpa ada perlawanan sedikitpun dari musuh. Begitu juga ketika shalahuddin Al-ayubi ingin merebut Baitul Maqdis beliau hanya membawa tentaranya yang bangun malam bertahajud, karena Ia yakin pertolongan Allah swt bersama mereka.
Semua nabi-nabi yang diutus pertama kali yang diusahakan adalah memperbaiki iman dan keyakinan umat, kemudian ibadah, mua'malah dan mu'asyarah setelah itu yang terakhir adalah politik kekuasaan yang berfungsi sebagai proteksi agama dan mengokohkan keberadaan nabi dan kaumnya dari bahaya musuh yang mengancam. berbeda dengan keadaan umat hari ini, ketika mereka melihat kezhaliman dan ketimpangan dalam pemerintahan dengan tergesa-gesa ingin mengangambil dan mengubah pemerintahan tersebut tanpa mengikuti tertib yang telah ditentukan Allah swt dan yang telah ditempuh dan dirintis oleh para utusan-Nya, akhirnya menimbulkan fitnah besar dalam umat islam, sehingga kaum muslimin diteror dan diskriminasikan dengan alasan Teroris yang mengganggu perdamain dunia.
Kita tengok kembali sirah an-nubuwah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau tidak memulai merubah umatnya khususnya bangsa Arab melalui kekuasaan dan politik, dalam perjalanan dakwahnya Ia pernah ditawari untuk menjadi raja Arab tetapi Beliau tolak tawaran itu, padahal secara akal jika Rasulallah shallallahu 'alaihi wasallam menjadi penguasa atau raja dan memiliki kekuasaan Ia akan mudah menyebarkan pengaruhhya dan ajaran yang dibawanya. Beliau saw lebih memilih menggunakan metode yang digunakan oleh saudara-saudaranya para anbiya' sebelumnya dan sudah teruji keunggulannya dan kesuksesan yang dicapai dengan metode tersebut, yaitu metode nubuwah yang langsung mendapat rekomendasi dari sang pencipta. Maka Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam memulai usaha untuk mengubah umat dengan menyempurnakan iman dan keyakinan umat selama tiga belas tahun di Kota Makkah dan ketika iman sudah sempurna, Allah swt memberikan hadiah besar yaitu negara islam dan kekuasaan yang berwibawa di Madinah al Munawwarah. demikianlah konsep kekuasaan, pemerintahan dan kepemimpinan menurut perspektif Ahl as-Sunnah wal Jama'ah. Wallahu A'lam bishawab.


KATA KUNCI
Pemerintahan dan Kekuasaan; Imamah dan Khalifah; Ahl al-Sunnah; Syi'ah; Keimanan dan Keyakinan; Amal Shaleh; Negara Islam













1 I Wayan Badrika, Sejarah, Hal. 88, Erlangga 2 Majmu' allughah al-arabiyah, Mu'jam al Wajiz, Dar Handatsiyah, Kairo 3 Ali Ahmad Salus, ENSIKLOPEDI SUNNAH-SYIAH,Studi perbandingan Aqidah dan Tafsir 4 Ibnu Manzhûr, Lisân al-`Arab, materi امم 12/24 5 Ibnu Khaldûn, al-Muqaddimah, dikutip dari Fî Madzâhib al-Islâmiyyîn, hal. 410 6 Dr. Ibrahim al-Fayyumî, Târîkh al-Firaq al-Islamiyyah al-Siyâsî wa al-Dînî, al-Syî`ah al- Syu`ûbiyyah wa al-Itsnâ `Asyariyyah, Dâr al-Fikr al-`Arabî, Cairo, 2002. hal. 7 7 `Ali Ahmad al-Salûsî, op. cit., hal. 45 8 Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, Hal, 356 9 Atthabari, Jilid 3. Hal, 223
1 Al-Baidhawy. dalam tafsirnya Jilid 1. Hal, 559 2 Al-Qurthuby. Tafsir Qurthuby. jilid 2. Hal, 1054 3 Ibnu Hajr al-asqalany. Fathul Barri Syarh shahih Bukhari. jilid 13. Hal. 458 4 Aiman Abu Syaadi. Nazru ilmiyah fi Ahl at-tabligh wa ad-dakwah. Hal, 33. Dar el-Kutb, Cairo 5 Aiman Abu Syaadi, op. cit., Hal, 36