Bulan Haji (Dzul-hijjah) telah meninggalkan kita sedangkan bulan Muharram atau permulaan tahun baru islam (Hijriyah) telah menjumpai kita kaum muslimin, Layaknya kaum muslimin menyambut bulan yang berkah ini lebih meriah dari pada tahun baru Masehi dikarnakan sangat besar fadhilah atau keutamaannya, terutama pada 10 Muharram (Asyura'), sebab, dewasa ini kesadaran kaum muslimin untuk memperingati tahun baru islam belum optimal bahkan seringkali dilupakan orang, sehingga ketika bertepatan dengan tahun baru islam dilewati begitu saja.
Menyambut dengan meriah bukan dengan menyalakan kembang api atau pesta sebagaimana menyambut tahun baru masehi, tapi dengan amalan-amalan yang mampu menambah keimanan dan kedekatan kita kepada Allah Swt
Sejarah Tahun Baru Islam
Pola penghitungan bulan dan tahun dalam Islam dibuktikan dengan adanya perintah Rasulullah Saw. kepada shahabatnya untuk melihat hilal dalam menentukan bulan Ramadlan dan Syawal. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, beliau mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah. Namun bila mendung menghalangi kalian, perkiraan baginya” (Mutafaqun 'alaih)
Sedangkan awal penentuan tahun Islami, dimulai pada jaman khalifah Umar bin Khattab R.a beliau mengumpulkan para ahli ilmu untuk membicarakan darimana dimulainya tahun Islami. Hal ini diperkirakan pada 16 H atau 17 H. sempat muncul berbagai pendapat, di antaranya: 1) Dihitung dari kelahiran Rasulullah. 2) Dihitung dari kematian beliau. 3) Dihitung dari hijrahnya beliau. 4) Dihitung sejak kerasulan beliau.
Pendapat-pendapat itu kemudian disimpulkan dan diputuskan oleh khalifah Umar bin Alkhatab bahwa dimulainya perhitungan tahun Islami adalah dari hijrahnya Rasulullah SAW karena sejak disyariatkannya hijrah, Allah Ta`ala memilah antara yang haq dan yang bathil. Pada waktu itu pula awal pendirian negara Islam
Perdebatan kembali muncul, setelah ditentukannya awal perhitungan tahun Islam. Yaitu untuk menentukan bulan apa yang dipakai sebagai pemula tahun baru, lalu ada yang mengusulkan diantaranya bulan Rabiul awwal karena diwaktu itu dimulainya perintah hijrah dari Makkah ke Madinah, ada juga yang mengusulkan bulan Ramadlan karena bulan itu diturunkannya Al-Qur'an.
Perdebatan kemudian berakhir setelah sebagian besar dari kalangan shahabat seperti Umar R.a, Utsman R.a dan Ali R.a sepakat bahwa tahun baru Islami dimulai dari bulan Muharram. Kenapa? Alasannya pada bulan itu banyak hal-hal atau aktifitas yang diharamkan di antaranya tidak boleh mengadakan peperangan. Kecuali dalam keadaan diserang maka diperbolehkan melawannya.
Berdasarkan kalender yang menyebar tertulis istilah Muharram ini dengan As-syura. Darimanakah kata ini diambil? Ada banyak pendapat, sebagian besar berpendapat kata Asyura berasal dari kata Asyir yang artinya kesepuluh (hari kesepuluh di bulan Muharram).
Keutamaan bulan Muharram (Suro)
Di antara keutamaannya penulis akan kutipkan beberapa hadits nabi Saw.
> Diriwayatkan dari Abu Hurairah R.a berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: “Seutama utama berpuasa setelah puasa bulan Ramadhan ialah puasa bulan Muharram (Asyura) – yaitu 10 Muharram - dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu adalah shalat malam”. (Shahih Muslim)
> Diriwayatkan dari Abu Qatadah Al-Anshary R.a berkata: Rasulallah Saw ditanya tentang puasa hari Arafah, jawab nabi Saw “Dapat menghapus dosa tahun lalu dan dosa yang akan datang” kemudian nabi Saw. Ditanya pula tentang puasa hari Asyura. Jawab nabi Saw. “Dapat menghapus dosa tahun yang lalu”. (Shahih Muslim)
> Dari Ibnu Abbas R.a berkata: Ketika nabi Saw tiba di Madinah nabi melihat orang yahudi berpuasa pada hari Asyura', nabi bertanya “Hari apa ini ?”. Jawab mereka “Hari ini adalah hari yang baik, Pada hari ini Allah melepaskan bani Israil dari musuh mereka, karena itu nabi musa berpuasa karenanya”. Sabda nabi Saw: “Aku lebih berhak dari pada kamu dengan Musa”. Oleh karena itu nabi berpuasa dan menyuruh orang lain berpuasa pada hari Asyura'. (Shahih Bukhari)
> Dari Aisyah R.h berkata: “biasanya orang Quraisy pada masa jahiliah berpuasa pada hari Asyura'' dan nabi Saw. Pun berpuasa, ketika baginda nabi di Madinah, Baginda juga berpuasa pada hari Asyura' dan menyuruh orang lain berpuasa juga”. (Shahih Muslim)
Penjelasan:
Adapun tentang perselisihan para ulama tentang kapan afdhal berpuasa hari Asyura apakah pada hari 10 tersebut atau sebelum dan sesudahya yaitu hari 9 dan 11, sebagian ulama seperti Ibnul qayim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa Asyura terbagi menjadi tiga keadaan :
1.Berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
2.Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama.*
*[Ini hadits dhaif yang didhaifkan Syeikh Albany]
3.Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makruh)
Diantara pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat pertama yang menyatakan disyariatkannya puasa di bulan Muharram di hari yang kesembilan dan kesepuluh. Pendapat ini yang dianut kebanyakan para ulama, seperti: Imam Syafi,Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain dari selain mereka. Hal ini berdasarkan pemaduan hadits-hadits yang dlahirnya Rasulullah melakukan puasa di hari kesepuluh sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Abu Qatadah serta pernyataan Aisyah R.h
Demikian tulisan ini penulis sajikan yang diambil dari berbagi sumber semoga Semoga Allah SWT memberikan karunia dan rahmat kepada kita sehingga tergolong sebagai orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Wallahu 'Alam.